Selasa, 18 Desember 2012


Hari ini, aku bangun tidur pagi-pagi sekali. Bahkan sebelum ibu sempat membangunkanku. Kulirik jam butut yang menggantung mencolok di dinding bambu kamarku, jarum pendeknya tepat berada di angka lima.

Aku sudah selesai mandi dan sekarang sedang bersiap dengan rutinitasku berjualan di pasar setiap hari Minggu pagi. Kutenteng bakul berisi ubi jalar yang beratnya entah berapa kilo, yang pasti cukup untuk membuat bahu kanan dan kiriku tak seimbang. Aku tidak sendiri, ada adik perempuanku yang berumur lima tahun selalu setia menemani. Walaupun tugasnya hanya sebagai pembawa seikat kantong plastik yang sengaja disiapkan untuk mengantongi ubi jalar jika ada yang membeli.

Sepanjang hari ini, ubi jalar jualan kami hanya laku delapan kilo. Dan itu pun harus berdebat kecil dulu dengan ibu-ibu yang menawar harga dengan kejam. Kadang aku heran dengan mereka yang  tega menawar lebih dari setengah harga. Padahal yang ingin mereka beli itu makanan, bukan barang mewah yang harganya sekian juta dan hanya dijadikan pajangan atau sekadar alat dandan.

Hari sudah sore. Aku memutuskan untuk pulang karena tak tahan mendengar rengekan adikku yang sedari tadi mengeluh kelaparan. Hampir aku mau membawa sisa dagangan, tiba-tiba ada sepasang suami-istri yang menghampiri kami.

“Ubi jalarnya masih ada?” tanya si istri.

“Masih banyak. Mau beli berapa kilo?”

“Tolong dibungkus semuanya.”

Hari sudah semakin petang, akhirnya kami memperoleh beberapa lembar uang.  Adikku tersenyum girang karena suami-istri itu memborong semua jualan kami. Aku hanya bisa tersenyum getir melihat tawa kecil adikku. Dia masih polos dan sebaiknya tak tahu masa lalu.

Seandainya kamu tahu, Dik, siapa suami-istri yang memborong jualan kita tadi. Aku yakin pasti tawamu tak akan selepas ini, bisikku dalam hati.

Tiba-tiba aku teringat raut wajah ibu di rumah. Ternyata ayah sudah bahagia, Bu, dengan perempuan yang merebut kebahagiaan kita lima tahun lalu.

Rabu, 12 Desember 2012

Sekitar sebulan yang lalu, entah kenapa gue tetiba rajin banget nongkrong di Gramedia. Mulai dari Gramedia Palembang Square sampe Gramedia Atmo. Ada niat mau nambah koleksi di rak buku di kamar, tapi belum buat lis mau beli buku apa. Ya, kadang gue memang kehilangan visi dan misi dalam hidup.

Hari pertama hunting buku ke Gramedia PS, seperti biasa penyakit bingung-mau-beli-buku-apa gue kumat. Lagi-lagi harus ambil hape, buka twitter, terus minta rekomendasi ke para Tuips (sebutan untuk penggiat twitter). Tapi, sebelum sempat nanya, gue gak sengaja baca tweet-nya @adygila di timeline. Ilham pun turun… Morgan dan Bisma joget-joget. Gue langsung kepikiran untuk beli bukunya Ady, yang judulnya Curcol si Rantau Kacau. Buku ini sebenarnya udah terbit lumayan lama, tapi dari dulu setiap mau beli pasti gak jadi karena keadaan dompet yang pukpuk-able. Gue langsung bergerilya cari itu buku, namun nihil. Gue cek di database komputer, benar aja, stok bukunya 0. Sebenarnya, stok buku 0 gini gak melulu karena bukunya laku keras sih, makanya gue langsung berasumsi jangan-jangan bukunya Ady sengaja dibuang ke gudang oleh pegawai Gramedia karena gak laku dan jamuran. Gue memang kadang suudzan berlebihan. Dan, hari itu gue gak beli buku apa-apa.

Besoknya, gue kembali nongkrong di Gramedia. Tapi kali ini nyasar ke Gramedia Atmo. Masih penasaran dengan buku yang gak ketemu kemarin, gue pun kembali menjelajah rak buku 'Novel Indonesia'. Namun, tetap nihil. Gue lari ke meja komputer, ngecek ketersediaan buku. Ternyata masih ada stok 14 eksemplar. Gue pun kembali menyusuri semua rak buku novel Indonesia bahkan novel terjemahan, tetap gak ketemu juga. Sampai akhirnya, setelah peluh bercucuran dan Ussy Sulistyawati melahirkan, gue melihat seonggok buku Curcol si Rantau Kacau di rak buku anak-anak. Iya, di rak buku ANAK-ANAK, pemirsaaa! Tumpukan buku ini disusun bersebelahan dengan buku-buku dongeng dan cerita anak semacam Shaun The Sheep dan kerabatnya. Seandainya pegawai toko buku tahu kalo isi buku ini semi vulgar, mungkin mereka akan merasa dikejar dosa seumur hidup karena udah khilaf menaruh buku ini berdampingan dengan buku yang memang layak dikonsumsi oleh anak-anak. Sungguh tak termaafkan.

Padahal judul postingan ini review, tapi basa-basinya kok panjang amat ya. Ya udah, langsung gue mulai review aja. Yuk capcuuuuss!


Judul : Curcol si Rantau Kacau
Penulis : Nugraha Adi Putra
Penerbit : Bukuné
Tahun Terbit : 2012
Cetakan : Pertama
Tebal : 196 hlm
ISBN : 602-220-029-6


Jalan-jalan di tanggal tua tentu bermasalah dengan keuangan. Semua reflek ngecek isi dompet masing-masing. Ternyata kami semua kompak, satu jiwa satu hati. Di dompet cuma ada satu lembar uang kertas 50 ribuan. Karena kami adalah turis yang low budget (baca: turis yang pengen liburan sepuas-puasnya tapi duit seminim-minimnya), kami pun mencari alternatif untuk menekan biaya.

"Gimana kalo naik kereta api?" untung memberikan alternatif kedua selain bis. "Naik kereta api???" gue sumringah. "Iya, naik kereta api," jawab untung. "SERiuS NAiK KERETA APi? WAH SERiuS YA? SERiuS NAiK KERETA APi TUT-TUT-TUT???" gue makin sumringah. Semua ngeliatin gue. "Dy ? Lo nggak apa-apa kan?" "GUE NGGAK APA-APA KOK, SENENG AJA NAiK KERETA APiiiii, TUT-TUT-TUT." Ngeliat gue kambuh, temen gue mulai baca yasin.

***
Curcol si Rantau Kacau menceritakan kisah konyol Ady, seorang anak asal Kalimantan yang merantau ke Jawa untuk menjadi mahasiswa Akuntansi. Perjalanan ini membawa banyak cerita, dari mulai pertama kali naik pesawat terbang, pertama kali naik kereta api, culture shock dengan makanan pedas, dan kisah cintanya yang mengenaskan. Belum lagi kisah-kisahnya sebagai mahasiswa Akuntansi, triknya menghadapi kuis-kuis dadakan, galaunya menghadapi mata kuliah yang sulit, dan kesehariannya nyemil kalkulator.

Senin, 26 November 2012

Akhir-akhir ini gue udah jarang banget curhat di blog. Entah kenapa gue jadi semacam takut kalo terlalu sering mengumbar-umbar cerita pribadi. Gue takut pengunjung blog gue jadi gak 'betah' nongkrong di blog ini kalo setiap harinya mereka disuguhi curhat-curhatan gak penting dari gue. Gak semua orang mau tahu tentang gue. Nobody's cares about my life, I see. Tapi, ya, itu... kalo gue gak curhat lewat tulisan, mungkin alternatif lain gue harus curhat ke Tuhan. *benerin peci*

Tapi, kalo dipikir-pikir, ini kan blog gue, jadi terserah gue dong mau nulis apa. HAHAHA!
Ya udah lah kalo gitu, gue mau curhat aja. Yang gak mau baca, silakan dengan senang hati menjauh dari blog ini dan silakan jadi fandom atau wota bersama abege-abege 'aduhai' di luar sana. *ditimpuk pake lightstick*

Jadi, hari ini gue iseng ngecek statistik blog gue yang menurut-kabar-angin pengunjungnya udah mencapai sekitar 12000-an. Gue gak tahu ada apa dengan blog ini. Postingan gue yang isinya 10% cerpen/tulisan fiksi, 10% pamer, 30% review buku, dan 50% isinya curhat gak jelas, kurang waras, dan gak baik dikonsumsi oleh anak-anak di bawah umur atau yang di bawah ketiak bapaknya. Tapi, gue berterima kasih pada kalian semua yang udah sudi mampir, apa pun alasannya. Entah itu gegara salah ketik URL, mau buka situs porno eh malah nyasar ke sini, atau mungkin karena ada bisikan ghaib yang maksa kalian buat berkunjung ke blog yang durjana ini, pokoknya tararengkiyu. Tanpa kalian gue bukan apa-apa. Kalian lah inspirasi gue untuk terus berkarya. Love you all, Smashblast!

Ini kenapa gue jadi kayak abis dapat award gini sih? -_-

Senin, 19 November 2012

Eva mengecek dompetnya. Hanya tersisa satu lembar lima puluh ribuan dan beberapa pecahan uang lebih kecil serta recehan. Masih cukup untuk makan sampai lusa. Tapi, ia perlu sekian lembar lagi besok, atau… ia akan mencari lagi lembar demi lembar besok dan besoknya lagi.

Rumah reyot di lingkungan kumuh, ranjang tempat tidur yang hampir ambruk, tetangga samping rumah yang acuh tak acuh, semuanya selalu berseliweran mengganggu pikiran Eva. Hanya rumah itu, dan semua ‘isi’ di dalamnya, itulah segalanya yang ia punya.

“Malam ini, aku harus memperoleh banyak uang. Agar besok, aku bisa pulang!”

Sekarang Eva sedang tidur di kamarnya. Kamar yang sudah dipesan para tamu Eva, lebih tepatnya. Malam ini ia telah sukses merayu dan mengundang mereka untuk masuk hotel. Ini mungkin lebih menguntungkan, pikirnya. Kalau ia kencan dengan anak ingusan, mungkin ia harus rela bergumul di kegelapan sudut taman.

Eva mendesah. Badannya sakit, namun tak dirasanya. Semua indra dan hatinya seolah mati, tapi tidak pikirannya. Eva tidak sedang mencari kesenangan. Maksudnya bukan untuknya, tapi untuk kesenangan orang lain.

Ratusan kali Eva berkutat dengan ketakutan. Ketakutan pada dosa-dosa seperti yang ia buat sekarang, dosa pada pria-pria di hadapannya, dan juga pada penyakit-penyakit yang mungkin saja mereka tularkan kepadanya.

Sekarang sudah pagi. Dimasukkannya puluhan lembar seratus ribuan ke dompet. Eva menata kembali rambutnya. Ia akan pulang hari ini.

Angkot dari arah selatan datang. Eva memandangi pantulan wajahnya di genangan air yang menggenang di pinggir jalan. Ada sesuatu yang bening menetes dari matanya, namun cepat-cepat ia hapus. Ia tidak boleh menangis, sebab yang harus ia bawa pulang adalah kebahagiaan. Kebahagiaan untuk suami dan anak-anaknya yang sudah ia tinggalkan, demi mencari uang untuk sekadar makan. Kini, halal dan haram, persetan baginya.

Minggu, 18 November 2012

Dapat rezeki lebih, lagi bosan, dan long weekend adalah perpaduan yang pas untuk hunting ke toko buku. Beberapa hari yang lalu, dengan semangat yang menggebu-gebu pergilah gue ke Gramedia Palembang Square bersama seorang teman yang-tak-boleh-disebutkan-namanya. Bukan, dia bukanlah makhluk sejenis Voldemort. Dia cuma seorang teman biasa yang kurang beruntung karena mau-maunya gue ajakin jalan ketika itu.

Setibanya di Gramedia, mulailah penyakit gue kumat. Nama penyakitnya adalah syndrom 'lupa-mau-beli-buku-apa'. Setelah 2 jam mengobrak-abrik semua rak buku, sampe mbak-mbak kasir mulai curiga kalo gue ini semacam agen rahasia yang diutus untuk meledakkan gedung Palembang Square dan sedang mencari spot untuk meletakkan bom waktu dengan dalih sedang mencari buku.

Akhirnya, setelah bergerilya cukup lama, gue pun memungut sebuah buku bersampul kuning dan membawanya ke meja kasir. The Not-So Amazing Life of @aMrazing, begitulah yang tertera di sampulnya. Nih, langsung gue  review~


Judul : The Not-So Amazing Life of @aMrazing
Penulis : Alexander Thian
Penerbit : GagasMedia
Tahun Terbit : Agustus 2012
Cetakan: Pertama
Tebal : 228 hlm
ISBN : 9789797805869

Bapak itu merogoh kantong celananya, lalu mengeluarkan bergepok-gepok uang.
"Nih! Sekian belas juta!"
Bahkan setelah menghitung sekian belas juta, sisa uang di tangan Bapak itu masih banyak. Fakta bahwa bajunya lusuh, serta handphone lamanya buluk segera terlupakan. Rupanya Bapak ini orang tajir yang tak tahu cara berdandan serta belum melek teknologi. Gue lagi-lagi salah menilai. Terkadang manusia memang hanya memandang penampilan luar. Menghakimi bahwa sebuah buku pasti jelek isinya hanya karena cover yang buruk.
Berlama-lama si Bapak mengagumi handphone terbarunya. Setelah puas, ia kembali bertanya hal yang paling penting.
"Dek, gimana cara main Fesbuk? Terus, internet itu apa, sih?"

The Not-So-Amazing Life of @aMrazing merupakan kumpulan kisah pengalaman Alexander Thian saat menjadi penjaga konter handphone di sebuah mal. Tidak sekadar menjual handphone, Alex memotret manusia melalui berbagai tingkah laku para pelanggan yang datang. Ada mereka yang butuh tampil mengesankan dengan handphone tercanggih, mereka yang ingin membahagiakan orang terkasih, juga mereka yang tertipu (dan menipu). Adakah wajah kita di sana?

Jumat, 16 November 2012

Udah bukan rahasia lagi kalo penampilan artis-artis yang kita lihat di televisi kebanyakan merupakan hasil rekayasa. Kalau bukan make-up, editing studio, efek khusus, bisa juga hasil operasi plastik atau biasa disebut plastic surgeryApalagi ditambah meningkatnya popularitas serial Korea, membuat aktor yang membintangi acara itu juga ikut naik daun. Bukan cuma yang main serial atau drama Korea, tapi juga penyanyi, band, dan boyband Korea juga semakin meraja lela. Begitu terkenalnya mereka sampai wajahnya pun menjadi dambaan orang yang melakukan operasi plastik. 

Sebenarnya cuma satu alasan seseorang ngelakuin oplas? Semata untuk berubah. Ya, berubah menjadi--yang menurut mereka--lebih baik dan menarik.

Kamis, 15 November 2012

Minggu, 11 November 2012


Ini adalah hari Minggu kedua di bulan November. Seorang perempuan sedang duduk merenung di atas sofa. Sendirian, seperti biasa. Layar televisi yang sedang menayangkan film kartun fvoritnya, Doraemon, sama sekali tak menarik perhatiannya pagi ini. Bukan bosan, tapi ada hal lain yang sedang mengganggu pikirannya.
Kemarin malam, ia ditelepon oleh teman lelakinya. Laki-laki yang seminggu lalu baru ia ketahui bernama Febri. Febri tak tampan, apalagi rupawan. Febri bertampang pas-pasan seperti laki-laki kebanyakan. Namun bagaimana pun penampilan fisik Febri, itu bukan hal yang penting baginya. Yang penting sekarang, mereka berdua sudah resmi pacaran, tadi malam tepatnya.
Lantas apa yang membuatnya risau pagi ini? Bukan. Bukan karena hal sepele seperti berubahnya dubber (pengisi suara) pada tokoh Doraemon, tapi ada hal lain yang sedang mengganggu pikirannya.
Tiga puluh menit yang lalu. Saat ia duduk di sofa sambil menunggu jam tayang kartun favoritnya dimulai, ia mendapati satu pesan masuk di telepon genggamnya. Pesan itu dari Febri, laki-laki yang baru semalam dipacarinya.

Pagi Lia sayaaang. Pukul 9 aku jemput kamu, ya. Jangan lupa dandan yang cantik!

Ia kaget membaca pesan itu. Padahal Febri berjanji akan menjemputnya pada pukul 3 sore. Ia melempar telepon genggamnya ke sofa, disusul remote televisi yang dibanting tanpa dosa.
Bisa-bisanya Febri lupa namaku. Namaku kan Cici, bukan Lia, keluhnya dalam hati.

Kamis, 08 November 2012


Bus itu tiba-tiba ricuh. Mata si pengamen kecil membeliak, namun mulutnya tak berucap apa pun. Sementara lelaki dewasa dengan wajah penuh emosi menggenggam lengannya dengan keras. Penumpang lain hanya menyaksikan pemandangan itu dengan penuh tanda tanya di kepala masing-masing. Sopir bus yang sedari tadi fokus dengan kemudinya, akhirnya menyetopkan bus.

“Ada apa ini, Mas?”

Lelaki dewasa itu tak menjawab pertanyaan si sopir. Ia menarik lengan pengamen kecil, lalu membawanya turun dari bus. Anak itu digiringnya dengan kasar ke trotoar jalan.

“Di mana kamu taruh koperku yang kamu curi kemarin? Jawab!”

Pengamen kecil itu hanya diam, menunduk dalam-dalam.

“Hei, kenapa diam? Jawab! Atau kubawa kamu ke kantor polisi.”

Masih tanpa suara, pengamen kecil itu mengangkat dagunya, yang seolah diarahkan pada sebuah gang kecil di ujung trotoar.

“Kamu menyembunyikannya di sana?”

 “Iya. Ikut aku!”

Sudah beberapa langkah keduanya menyusuri gang sempit itu. Sekarang mereka sampai ke tempat yang dimaksud oleh pengamen kecil.

“Aku menaruh tasmu di sini.”

Pengamen kecil mengarahkan telunjuknya ke tumpukan-tumpukan kardus bekas yang disusun tak beraturan di atas tanah basah.

“Ini rumah baruku. Kardus-kardus ini kubeli memakai sebagian uangmu.”

Sudah baca tulisan gue yang judulnya Napas Terakhir Untuknya? Beberapa teman yang sudah baca ada yang berkomentar kalo itu cerita yang sedih. Bahkan, ada juga yang sempat nanya tulisan itu true story apa bukan? Gue cuma bisa ngangguk sambil senyum.  Kebahagiaan seorang penulis sebenarnya bukan saat tulisan mereka dibayar dan menghasilkan uang, tetapi lebih membahagiakan lagi saat ada orang lain yang mau membaca dan merespons tulisan mereka. Ya, sesederhana itu. Gue gak pernah menyebut diri gue sebagai penulis, tapi nyatanya gue suka dan sering menulis… seperti yang gue lakukan sekarang ini. Kalo ada yang nanya kenapa gue suka nulis? Gue selalu bingung mau jawab apa. Bagi gue, pertanyaan “Kenapa kamu suka nulis?” itu sebanding sama pertanyaan “Kenapa kamu suka jengkol?”. Gak semua orang suka jengkol, tapi gue suka. Kira-kira begitulah, gue juga pusing mikirinnya.

Selasa, 06 November 2012


Mencintai seseorang yang tidak mencintaimu itu rasanya seperti memeluk kaktus. Semakin kuat kamu bertahan, semakin perih rasanya. Ada yang pernah menyatakan bahwa cinta itu omong kosong. Aku tidak ingin mempercayainya, tapi terlalu banyak bukti.
Seperti hari ini. Sandra, kekasihku, merusak mood baik yang kubawa dari rumah dengan perlakuan yang kurang menyenangkan, membentakku dengan sebutan ‘lelaki bodoh’ ketika aku mencoba mengajaknya masuk ke kelas. Lalu, malah memilih Andi untuk ganti menemaninya. Ah, apa-apaan ini? Aku tersenyum pahit mendengar setiap kata halus yang ia tujukan untuk Andi. Kata-kata manis yang bukan untukku. Kata-kata manis yang dalam sekejap mampu memporak-porandakan hatiku. Entah kenapa aku merasa ada yang aneh dengan sikapnya hari ini, juga Andi yang sudah tampak seperti boneka, pasrah saja dengan perlakuan Sandra yang tiba-tiba berlebihan.
Hei, tak cukupkah aku baginya? Tak tahukah dia akan perasaanku? Tak bolehkah aku cemburu? Tapi semakin aku mencoba memburu jawaban atas pertanyaanku, keraguan yang kutemukan justru semakin membuat aku merasa bertanya-tanya, di mana letak kesalahanku.

Senin, 05 November 2012


“Ibu ini bagaimana, sih? Uang yang Bapak peroleh kan tidak cukup untuk keperluan Bimo.”

“Iya, Ibu tahu itu, Pak. Tapi kan, anak kita sekarang sedang membutuhkan uang untuk keperluan sekolahnya. Kasihan dia.”

“Loh, gaji Ibu kan yang lebih besar daripada Bapak. Ya, pakai uang Ibu saja lah.”

“Uang dari Ibu sudah habis, Pak, untuk keperluan makan kita.”

“Owalah… punya istri kok tidak berguna. Dulu saja Ibu bisa dapat uang jutaan dalam satu malam.”

“Berhenti mengungkit masa lalu Ibu, Pak!”

“Sudahlah, semua orang juga tahu kalau Ibu mantan pelacur!”

Tidur soreku hari ini terganggu oleh pertengkaran ibu dan bapak. Bising, apalagi mendengar kata-kata bapak yang kasar dan keras.

Aku mencoba mengintip dari lubang kecil papan kayu dinding kamarku, namun tak berhasil mencuri pandang setitik pun. Kudekatkan kupingku ke dinding kamar, kali ini mencoba mencuri dengar. Hanya suara helaan napas ibu yang cukup jelas di telinga. Kudengar suara ibu mengeluarkan nada sendu. Sesenggukan yang awalnya rendah, lama-lama semakin menderu.

Pertengkaran keduanya sudah reda. Entah ke mana bapak yang bertampang dingin serta menakutkan itu pergi. Aku beranjak keluar dari kamar, menemui ibu yang sedang tertunduk lemas.

“Ibu, kenapa menangis?”

“Tidak apa-apa, Bim.”

“Ke mana Bapak?”

“Kamu sudah makan siang tadi?”

Ibu mengalihkan pembicaraan. Mungkin ibu tidak ingin aku mengetahui apa yang membuat ia terluka. Karena aku selalu tahu, air mata ibu yang berlian itu hanya akan ia berikan untuk kebahagianku.

“Belum, Bu.”

“Ya sudah, kamu mandi saja dulu. Malam ini ibu masakkan daging untukmu.”

“Daging?”

Ibu beranjak menuju dapur—yang lantainya kini dipenuhi noda merah. Aku terperanjat melihat bapak yang sudah meringkuk di sudut dapur.

Sabtu, 03 November 2012


Kehidupan mahasiswa itu gak pernah lepas dari sosok seorang pengajar. Ya, pengajar inilah yang sering kita sebut DOSEN, bukan Bunga, Mawar, atau Dahlia seperti yang sering muncul di rubrik berita kriminal di Koran harian. Cara mengajar setiap dosen sangat berbeda-beda, tergantung gen apa yang dia bawa dari orangtuanya *halah*. Bahkan, tingkah laku dan gaya mereka (dosen, red) bisa kita kategorikan dalam berbagai tipe dan jenis. Nah, belakangan ini gue sempat melakukan survei secara gak resmi di lingkungan kampus, dan akhirnya menemukan beberapa spesies tipe dan jenis dosen yang sedang happening. Cekibrot!

Kamis, 01 November 2012

Dulu, aku sangat berguna baginya. Setiap hari membantunya mengerjakan tugas kuliah. Tugas kuliah yang membuatnya mendapatkan indeks prestasi membanggakan, 3.36. Lumayan  besar jika dibandingkan indeks prestasi teman-teman sekelasnya.

Dulu, aku juga yang membantunya menandatangani absensi setiap hari, pada setiap pergantian mata kuliah. Pokoknya aku selalu ada saat dia butuh.

Tapi, itu dulu. Sebentar lagi dia akan membuangku, hanya karena satu alasan. Aku ‘macet’, katanya. Aku hanya bisa pasrah menunggu apa yang akan dia lakukan padaku.

Perempuan berparas cantik itu mengulurkan tangannya. Mencoba meraihku dari dalam tas berwarna ungu. Dicoretkannya aku pada selembar kertas di bindernya. “Ah, pena ini sudah macet!” keluhnya seraya melemparkan aku ke dalam kotak sampah yang berada di sudut ruangan kelasnya. Akhirnya aku dibuang olehnya.

Selasa, 23 Oktober 2012

 “Aduh! Mataku perih.”

Tia masih mengucek-ngucek matanya yang mulai memerah.

“Toloooong!!!”

Tak ada yang mendengar.

Jauh dari tempatnya bersuara, telepon genggamnya berdering. Ada satu pesan masuk.

Dari: Mama
Pesan: Tia, mama ada panggilan mendadak dari kantor. Oh iya, kalo kran air masih macet, kasih tahu Mang Kosim aja biar nanti diperbaiki.


---------------------
Flashfiction ini ditulis untuk proyek #Macet NBC Unsri

“Keluar dari sini, Mama sudah muak dengan kelakuan Papa.”

“Tapi, Ma, dia cuma rekan bisnis Papa. Nggak lebih dari itu.”

“Cuma rekan bisnis? Nyatanya tadi Mama lihat kalian berciuman di kantor? Papa masih mau berkilah?”

Rido mendengarkan percakapan orang tuanya dari pintu rumahnya yang setengah terbuka. Dia berdiri mematung menahan dadanya yang sesak dan kepalanya yang berat memikirkan cara untuk mempersatukan kedua orang tuanya yang hampir setiap hari bertengkar. Dia kehabisan akal. Kehabisan kata-kata. Dia berlari, menahan isak tangis yang nyaris meledak. Dengan masih mengenakan seragam merah-putihnya, dia berlari mencari tempat yang bisa menenangkan hatinya, yang bisa menutupi kepedihan yang dirasa.

Dia berhenti di depan sebuah toko buku yang terletak tak jauh dari rumahnya. Berpikir sejenak, lalu dengan ragu memasukinya.
“Dik, tasnya dititipkan dulu di sana, ya,” himbau satpam yang berjaga di dekat pintu masuk. Rido membalas dengan anggukan lemah.

Senin, 22 Oktober 2012

Minggu lalu adalah minggu yang bersejarah buat gue. Akhirnya, gue kesampean juga makan sushi. Dan, fix GUE GAK SUKA. Makan sushi itu rasanya kayak makan (kapsul) minyak ikan yang langsung dijilatin dari ikannya.  Ada sih satu menu yang lumayan enak di lidah, entahlah namanya apa gue lupa. Yang pasti agak mirip-mirip sama nama tokoh-tokoh anime Pokemon. 

Benar kata Mie Sedaap, kalo lidah memang gak bisa bohong. Segimana pun teman-teman semacam ketagihan makan sushi, gue lebih memilih ngemil kerupuk yang ditambah sambel sachet-an. Terserah deh orang mau bilang norak. Emang gue dari sononya anak kampung. Hahaha.

Eh, ngomongin soal 'rasa', kemarin gue sempat baca buku keren dong. Judulnya "Rasa Cinta", hadiah menang kuis dari Tante @ijotoska di twitter. Nih, gue review~

Minggu, 21 Oktober 2012


Dengarlah, Bejo.

Setiap perjalanan adalah kenangan. Semua pelajaran pantas untuk dikenang.
Namun, ini baru permulaan. Setidaknya untukmu. Untuk sebuah rasa yang kau anggap tabu.

Semua tampak begitu menyenangkan. Ya, karena ini baru permulaan.
Biarkan menjadi kejutan di depan. Esok, siapa yang akan tahu, rasa itu akan menjadi candu.

Memang, ada yang tak pantas untuk diperjuangkan.
Mungkin ada bagian yang pantas untuk dilupakan.
Artinya itu pertanda untuk mengambil jalan baru. Semuanya tergantung kamu.

Teruntukmu, Bejo.

Kelak, bila kau mulai pandai mengeja, mulai bisa merangkai kata, belajarlah untuk mengenal rasa.
Ya, itulah yang sering mereka sebut cinta.

Pahami dengan seluruh pikiran. Pahami arti kesedihan.
Mungkin saja nanti berujung luka.



------------------------
puisi ini ditulis untuk Lomba Puisi Gobel Awards 2012