Beberapa waktu lalu sempat ada berita dengan headline 'Pria Jepang Tewas Tertimpa 6 Ton Buku Porno Koleksinya' lalu langsung menuai opini dan jadi bahan diskusi di grup WhatsApp.
"Busyet!" Shock!
"Masih aja koleksi buku? Untuk begituan mainnya udah pake file digital dong!" sahut seorang pakar dalam bidangnya.
"Aku nggak mau ngetawain orang yang meninggal walau penyebab meninggalnya agak nganu," timpal anggota lain dengan penuh welas asih.
"Wkwkwk. Share ah!" Yang ini tipe netizen reaktif.
Anggota lainnya cuma jadi silent reader, biasanya baru muncul saat mau tanya-tanya sesuatu atau minta ditransfer pulsa saat kepepet.
Walaupun akhirnya berita yang cukup clickbait itu dikonfirmasi sebagai hoax, tapi diam-diam aku malah mengamini sebuah kutipan dari buku yang baru saja kubaca.
Os livros mudam o destino das pessoas.
Kalau diterjemahkan dari bahasa Portugis, kurang lebih artinya: buku mengubah takdir hidup orang-orang. Diambil dari buku berjudul Rumah Kertas.
Sebetulnya aku sudah mengincar buku ini sejak lama, dari sebelum sinetron Anak Jalanan kehilangan sosok Boy, tapi baru kesampaian baca karena susah dicari di toko buku terdekat. Mungkin karena penerbitnya nggak ada cabang distributor ke Gramedia di wilayah Sumatera kali, ya?
Mengacu pembagian kategori yang ditentukan oleh SFWA (Science Fiction Writers of America), aku memilih untuk menyebut buku ini sebagai novela karena tebalnya kurang dari 100 halaman. Cuma butuh waktu sehari untuk menamatkan novela yang berjudul asli La casa de papel. Dalam bahasa Inggris, novela ini dikenal dengan judul House of Paper atau Rumah Kertas dalam versi terjemahan Indonesia.
Walaupun mengangkat tema tentang buku, Rumah Kertas jelas bukanlah jenis bacaan yang akan memanjakan euforia para pencinta buku. Apa yang ingin disampaikan oleh penulis adalah tragedi. Seorang profesor bernama Bluma Lennon tertabrak mobil saat membaca buku puisi karya Emily Dickinson, lalu meninggal. Koleganya—yang menjadi narator aku di buku ini—terpaksa harus menggantikannya di Jurusan Sastra Amerika Latin; mengajar dan memakai ruang kantornya. Suatu pagi ia menerima paket yang ditujukan untuk mendiang Bluma, berisi buku yang dikirim dari Uruguay. Penelusuran akan asal-usul buku tersebut yang kemudian membawa si Aku ke dalam dunia para penggila buku.
Aspirasi sastra mereka tak ubahnya kampanye politik atau tepatnya taktik militer ... orang-orang yang kaya raya dalam semalam berkat buku-buku payah, yang dipromosikan habis-habisan oleh penerbitnya.
Ada banyak sekali sentilan dalam novela ini yang bikin senyum sekaligus meringis. Mulai dari menyinggung bahwa adanya jurang pemisah antara kolektor buku dan pencinta buku, pertimbangan semakin banyak buku maka perlu semakin banyak indeks buku yang harus dibuat, sampai membuat dilematik sebaiknya buku-buku disimpan dalam perpustakaan pribadi atau dibagikan ke orang-orang saja guna memperpanjang usia buku.
Kita mungkin sering mendengar istilah dan berbagai keunikan para pengagum buku, seperti kutu buku (bibliophile), pembaca yang obsesi membeli judul buku yang sama dalam berbagai versi (bibliomaniac), atau pembaca yang hobi membeli banyak buku hanya untuk ditumpuk tanpa niat membacanya (tsundoku). Memang betul apa yang dibilang Aan Mansyur, "Membeli buku dan membaca buku tidak pernah jadi dua kegiatan yang sama."
Kalau yang disebut di atas masih bisa disebut unik, maka para pencinta buku dalam Rumah Kertas sudah masuk pada tahap 'gila'. Bluma yang ingin mati bersama buku. Delgado yang enggan mengotori ‘kesucian’ buku yang dibacanya. Bahkan ada yang rela menghabiskan uangnya untuk buku, menyusunnya di dalam rumah sedangkan ia tidur di loteng karena itulah ruangan yang tersisa, menyusun sistem indeks berdasarkan katalogisasi buku-buku yang referensinya berkaitan, serta sebisa mungkin menghindari peletakan berjajaran di rak yang sama dua penulis yang pernah terlibat cekcok. Sinting! Tapi nyatanya begitulah yang dilakukan oleh Brauer.
Aku nggak akan membahas ke mana perjalanan si Aku dalam buku ini akan berujung karena takut merusak esensi 'rumah kertas' yang ingin disampaikan penulis. Yang jelas, selepas membaca novela karya Carlos María Domínguez ini, aku jadi merasa minder untuk mengaku sebagai pencinta buku. Tapi pesan yang akhirnya kutangkap, segala hal-hal yang berlebihan memang nggak baik, dalam hal apa pun.
Manakala nenek melihatku membaca di tempat tidur, beliau selalu berkata, 'Sudah, buku itu berbahaya, tahu!'
16 Komentar
Hahahaha. Serius, jadi pengen baca Rumah Kertas ini. Kayaknya saya termasuk tsundoku deh.
BalasHapusEverybody is tsundoku! Yash!
HapusYaaaah keduluan. Gagal pertamax deh di website www.ridoarbain.com :(
BalasHapusJenis komentar yang tidak begitu kuharapkan dari seorang pria fantastis. :(
HapusRumah kertas??? itu kalo hujan gak basah tuhh... walahhh
BalasHapusKritis sekali, bung!
HapusAnjir serem banget sih ini buku ya.. Kalo gue sih kayaknya masuk ke dalam kategori bibliomarah-marah-kalo-minjemin-buku-pas-dibalikin-ternyata-ada-bekas-kuah-soto.
BalasHapusEh bedanya novela sama novel itu apa? Cuman lebih ringan dan kecil aja?
Kira-kira perhitungannya begini
HapusNovel: lebih dari 130 halaman
Novela: 60-130 halaman
Novelet: 25-60 halaman
Cerpen: kurang dari 25 halaman
Seriusan itu cuma 76 halaman? Kadang kok gue ngerasa anaknya perhitungan. Buku tipis, tapi kalo harganya mahal mending baca di Gramed. Wahaha. :))
BalasHapusGokil amat itu sampe tidur di loteng karena ruangan penuh buku. Beberapa puluh tahun lagi gue bisa begitu, ya? XD
Untuk buku tertentu, walaupun tipis tapi berisi, Yog. Apalagi ini bukunya potensial buat dibaca berulang-ulang. Heuheu.
HapusBeli onlen aja yog, di ig nya demabuku tuh jual ini buku, harganya 33ribu hahaha ini bukan promosi cuma sekedar memberi rekomendasi :D
HapusSama kayak bang. Yang males lagi buku tebel plus mahal. Makanya jarang beli buku pelajaran. :(
BalasHapusItu orang menuhin rumah dengan buku pasti nggak kepikiran buat ngeloakin. Paling buku segitu banyak dapet piring empat biji.
Lah, bang siapa itu? :(
HapusMaksud saya bang Yoga.
Alhamdulillah, aku sudah baca buku rumah kertas ini do.
BalasHapusSekiranya saya mungkin termasuk dalam golongan tsundoku, karena kecepatan membacaku tak secepat kecepatan dalam membeli buku buku haha
Perihal komentar tentang buku ini, menurut saya buku ini berhasil mendobrak idiom "Buku bagus itu pasti bukunya tebal", ketebalan sebuah buku tak menjamin kualitas, ya seperti halnya sebuah idiom lain, "jangan gampang menilai sesuatu dari kovernya saja". Dalam kasus ini adalah sangat unik yang mana si pecinta buku itu membuat rumah dari buku-buku koleksinya. menjadikan pondasi rumahnya berasal dari buku buku tebal :)))
Sekiranya jika itu nyata, akan Sangat disayangkan tatkala tau banyak buku penting nan langka, yang dikorbankan dan dicampurkan dalam semen untuk menjadi pondasi tembok rumahnya
Sekedar membenarkan "OS livros mudam o destino das pessoas." Ini bahasa portugis🙏
BalasHapusRead it!! And love itt!!
BalasHapusMinjem buku ini di perpustakaan proklamator bung Hatta sebagai penyeimbang agar di Minggu ini bacaan ku sesuai target yaitu 2 buku, soalnya buku satu lagi nya kastil oleh franz kafka🫠
Tapi worth bgt!! Premisnya unik bgt!
Silakan berkomentar. Lihat apa yang akan terjadi!