“Keluar dari sini,
Mama sudah muak dengan kelakuan Papa.”
“Tapi, Ma, dia cuma
rekan bisnis Papa. Nggak lebih dari itu.”
“Cuma rekan bisnis?
Nyatanya tadi Mama lihat kalian berciuman di kantor? Papa masih mau berkilah?”
Rido mendengarkan
percakapan orang tuanya dari pintu rumahnya yang setengah terbuka. Dia berdiri
mematung menahan dadanya yang sesak dan kepalanya yang berat memikirkan cara
untuk mempersatukan kedua orang tuanya yang hampir setiap hari bertengkar. Dia
kehabisan akal. Kehabisan kata-kata. Dia berlari, menahan isak tangis yang
nyaris meledak. Dengan masih mengenakan seragam merah-putihnya, dia berlari
mencari tempat yang bisa menenangkan hatinya, yang bisa menutupi kepedihan yang
dirasa.
Dia berhenti di
depan sebuah toko buku yang terletak tak jauh dari rumahnya. Berpikir sejenak,
lalu dengan ragu memasukinya.
“Dik, tasnya dititipkan dulu di sana, ya,” himbau satpam yang berjaga di dekat pintu masuk.
Rido membalas dengan anggukan lemah.
Rido tak tahu apa
yang akan dilakukan di tempat itu. Dia berkeliling mencari buku yang mungkin
dapat menyembuhkan dukanya. Menghilangkan rasa marah dan cemas terhadap
hubungan orang tuanya yang tak lagi harmonis. Tiba-tiba, matanya tertambat pada
buku-buku dengan sampul yang menurutnya sangat keren. Buku-buku dengan sampul
mirip poster film-film di televisi. Buku-buku fantasi.
Rido memungut satu
buku yang sudah terlepas dari segel plastiknya. Membuka lembar demi lembar, dan
akhirnya memutuskan membacanya, hingga dia melupakan semua masalah yang
akhir-akhir ini selalu menggelayuti pikirannya. Hingga senja menjelang, dia
masih asyik dengan bacaannya. Mungkin dia lupa pulang.
Kejadian itu
berulang berkali-kali, hingga hampir setiap hari Rido menyempatkan diri datang
ke toko buku itu. Dia tidak pernah membeli buku-buku fantasi itu, hanya
membacanya di sana. Dan lama-lama, kebiasaan itu menjadi hobi baginya. Hobi
yang membuatnya tahu tentang cerita-cerita fantasi terbaru. Hobi yang
membuatnya berimajinasi dan sesekali menuliskan kembali dalam cerita versinya.
Sekaligus hobi yang membuatnya menjadi anak yang dikenal akrab oleh satpam,
petugas penitipan barang, dan petugas penjaga toko buku itu.
* * *
Sepuluh tahun
kemudian…..
“Do, ada novel
fantasi baru tuh. Katanya sih best seller,” kata gadis penjaga toko.
“Yang mana, ya,
Mbak?”
“Sini, aku
tunjukin!”
“Oh, itu tho, Mbak,”
cetus Rido sambil tersenyum.
“Emang kamu udah
baca?” tanya gadis itu heran melihat Rido yang hanya tersenyum. Padahal
biasanya dia langsung membaca hingga berjam-jam jika ada buku fantasi yang baru
di toko itu.
“Hehehe, Mbak dong
yang gantian baca!”
Gadis penjaga toko
itu mengamati buku fantasi yang ada di tangannya. Matanya terbelalak ketika
membaca nama RIDO ARBAIN yang tertulis di sampul buku itu.
“Jadi ini karyamu,
Do?”
“Mbak kok nggak
bilang ‘WOW’ gitu sih? Hehe,” kata Rido sambil berlalu meninggalkan gadis
penjaga toko yang memasang ekspresi ‘WOW’ di wajahnya.
---------------
Flashfiction ini ditulis oleh seorang teman twitter yang baik hati, @aa_muizz. (tulisan dicolong dari sini)
Thanks a million ya, Am! Aku terharu loh dibuatin flashfiction dengan tokoh dan judulnya pake namaku. :') *peluk virtual*
0 Komentar
Silakan berkomentar. Lihat apa yang akan terjadi!