Mencintai
seseorang yang tidak mencintaimu itu rasanya seperti memeluk kaktus. Semakin kuat kamu bertahan, semakin perih rasanya. Ada
yang pernah menyatakan
bahwa cinta itu omong
kosong. Aku tidak ingin mempercayainya, tapi
terlalu banyak bukti.
Seperti
hari ini. Sandra,
kekasihku, merusak mood
baik yang kubawa dari rumah dengan perlakuan yang kurang menyenangkan,
membentakku dengan sebutan ‘lelaki bodoh’ ketika aku mencoba mengajaknya masuk
ke kelas. Lalu, malah memilih Andi untuk ganti menemaninya. Ah, apa-apaan ini? Aku tersenyum pahit mendengar setiap kata halus yang ia tujukan untuk Andi. Kata-kata manis yang bukan untukku. Kata-kata manis yang
dalam sekejap mampu memporak-porandakan
hatiku. Entah
kenapa aku merasa ada yang aneh dengan sikapnya hari ini, juga Andi
yang sudah tampak seperti boneka, pasrah saja dengan perlakuan Sandra yang
tiba-tiba berlebihan.
Hei, tak
cukupkah aku baginya? Tak
tahukah dia akan perasaanku? Tak bolehkah
aku cemburu? Tapi
semakin aku mencoba memburu jawaban
atas pertanyaanku, keraguan yang kutemukan justru semakin membuat
aku merasa
bertanya-tanya, di mana letak kesalahanku.
Aku
melangkahkan kakiku menuju kelas. Lima belas menit lagi mata kuliah Akuntansi Dasar dimulai. Oh, Akuntansi,
hanyutkan aku dalam
rumus-rumusmu. Buatlah aku sejenak melupakan sakit
hatiku padanya. Aku
memandang papan tulis dengan tatapan
kosong. Rumus-rumus yang terpampang di sana malah menyerupai nama Sandra di benakku. Ini salah. Tidak seharusnya aku begini. Sandra tidak seharusnya merusak hidupku hingga sejauh ini.
Aku menoleh ke arah belakang, kutemukan
Sandra di sana, kemudian
dia memandangku dengan
tatapan biasa. Tatapan yang sama sekali tidak
menganggap aku kekasihnya. Tatapan yang seakan-akan aku bukan siapa-siapa baginya. Akan tetapi, tatapan itu adalah tatapan yang pernah membuatku
terpesona, tatapan yang
membuatku gila, tatapan yang menegaskan ide bahwa di dalam cinta itu tidak ada logika.
ªªª
“Dasar perempuan, semua sama, ribet!” ucapku sambil mendengus lalu membanting ponsel jadulku di atas meja
kantin. Firman
yang sedari tadi berdiri mematung di sampingku mulai
risih dengan sikapku yang jadi kekanakan.
“Sabar,
sabar, Ris! tutur Firman mencoba menenangkanku.
“Kamu
enak menyuruh sabar, kamu kan tidak merasakan apa yang aku rasakan, Man!”
Firman
menghela napas panjang. “Ya, aku memang tidak merasakan, tapi aku tahu bagaimana rasanya berada di
posisimu seperti sekarang.”
Aku mulai
sedikit menyeka keringat,
lalu menatap Firman dengan
tatapan tajam. “Memangnya kamu pernah sakit hati karena masalah sepele seperti yang aku alami sekarang? Setahuku kamu kan tidak pernah
pacaran.” Firman tak menjawab. Hening.
ªªª
Kilatan
petir mulai terlihat dan bunyi gemuruh mulai terdengar bersamaan dengan munculnya titik-titik hujan. Aku membayangkan diriku berada di
luar sana. Menikmati tetesan
air hujan yang membasahi wajahku, membiarkan dukaku meleleh dan terhanyut bersama butiran-butiran
air hujan. Kemudian
aku membayangkan Sandra
datang membawa sebuah
payung, melindungiku dari hujan, dan
mendekapku dalam kehangatan. Semuanya
terasa begitu indah. Sandra
terlihat begitu sempurna. Aaaah... Mimpi
memang terkadang lebih indah dari dunia nyata. Mimpi kali ini
membuatku enggan
menatap kenyataan.
Aku
menggeliat ketika telah
terjaga, entah berapa jam
aku tertidur.
Tok...! Tok...! Kudengar ada yang mengetuk pintu kamarku.
Kulirik jam yang menggantung di dinding kamar, tepat pukul 00.00. Ah, siapa yang iseng mengetuk pintu
malam-malam begini, mengganggu orang tidur saja, protesku dalam hati. Sedang mataku masih berat pula, kudengar sayup-sayup
percakapan dari luar,
sepertinya dari arah dapur.
Dengan langkah gontai dan mata yang belum pulih dari
tidur, kubuka pintu kamar.
Di sana mama
berdiri, menyambutku
dengan senyum lebar. Di belakangnya ada papa, kedua kakak, dan adik perempuanku. Dan masih ada
seorang lagi, perempuan mengenakan baju putih dengan terusan rok panjang, tampak familiar.
Itu Sandra? gumamku. Di tangannya membawa
sesuatu. Kue
ulang tahun, lengkap dengan sepasang lilin membentuk angka 20 yang masih
menyala.
“Happy birthday, Aris!” teriak mereka semua dengan
kompak.
Astaga... aku baru ingat. Kenapa aku baru sadar kalau
hari ini, tepat tanggal 27 Maret, adalah hari ulang tahunku. Dan tepat hari ini
juga usiaku memasuki kepala dua.
“Selamat ulang tahun, Sayang. Hehe. Maaf, ya, tadi di
kampus sengaja bikin kamu kesal. Lucu deh lihat kamu cemberut.” Sandra
cengengesan di hadapanku. Ternyata benar kecurigaanku atas sikapnya yang aneh
siang tadi, rupanya ini maksudnya, memberikan surprise party ini buatku, bersekongkol dengan semua anggota
keluargaku. Ah, aku terharu sekali.
“Makasih, ya, Sayang.” Aku menjambak rambut Sandra dengan
sembarangan. Itu membuatnya tampak berantakan, tapi tetap saja cantik.
Setidaknya buatku. Aku menerawang wajah
itu. Wajah itulah yang selalu terpajang di hampir setiap rinduku. Aku memandangi rambutnya, matanya, hidungnya, bibirnya, dagunya, lehernya, kemudian balik
lagi ke rambutnya.
Kutatap
langit-langit kamar yang berserakan sarang laba-laba
di atasnya, seperti berserakannya pikiranku dalam balutan kenangan masa kecil, masa lalu terindahku. “Tuhan, segala puji bagi-Mu yang telah menuntun perjalanan
hidupku sampai di usia ini, detik ini.”
Hanya itu kalimat yang
mampu kuucapkan di antara titik air mata kebahagiaan.
Sebuah
tulisan usang yang tersimpan di komputer jinjing,
Maret 2012
0 Komentar
Silakan berkomentar. Lihat apa yang akan terjadi!