Hari
ini, aku bangun tidur pagi-pagi sekali. Bahkan sebelum ibu sempat
membangunkanku. Kulirik jam butut yang menggantung mencolok di dinding bambu
kamarku, jarum pendeknya tepat berada di angka lima.
Aku
sudah selesai mandi dan sekarang sedang bersiap dengan rutinitasku berjualan di
pasar setiap hari Minggu pagi. Kutenteng bakul berisi ubi jalar yang beratnya
entah berapa kilo, yang pasti cukup untuk membuat bahu kanan dan kiriku tak
seimbang. Aku tidak sendiri, ada adik perempuanku yang berumur lima tahun
selalu setia menemani. Walaupun tugasnya hanya sebagai pembawa seikat kantong
plastik yang sengaja disiapkan untuk mengantongi ubi jalar jika ada yang
membeli.
Sepanjang
hari ini, ubi jalar jualan kami hanya laku delapan kilo. Dan itu pun harus
berdebat kecil dulu dengan ibu-ibu yang menawar harga dengan kejam. Kadang aku
heran dengan mereka yang tega menawar
lebih dari setengah harga. Padahal yang ingin mereka beli itu makanan, bukan barang
mewah yang harganya sekian juta dan hanya dijadikan pajangan atau sekadar alat
dandan.
Hari
sudah sore. Aku memutuskan untuk pulang karena tak tahan mendengar rengekan
adikku yang sedari tadi mengeluh kelaparan. Hampir aku mau membawa sisa
dagangan, tiba-tiba ada sepasang suami-istri yang menghampiri kami.
“Ubi
jalarnya masih ada?” tanya si istri.
“Masih
banyak. Mau beli berapa kilo?”
“Tolong
dibungkus semuanya.”
Hari
sudah semakin petang, akhirnya kami memperoleh beberapa lembar uang. Adikku tersenyum girang karena suami-istri itu
memborong semua jualan kami. Aku hanya bisa tersenyum getir melihat tawa kecil
adikku. Dia masih polos dan sebaiknya tak tahu masa lalu.
Seandainya kamu tahu,
Dik, siapa suami-istri yang memborong jualan kita tadi. Aku yakin pasti tawamu
tak akan selepas ini,
bisikku dalam hati.
Tiba-tiba
aku teringat raut wajah ibu di rumah. Ternyata
ayah sudah bahagia, Bu, dengan perempuan yang merebut kebahagiaan kita lima tahun lalu.
0 Komentar
Silakan berkomentar. Lihat apa yang akan terjadi!