[Flashfiction] Untuk Sekadar Makan

Eva mengecek dompetnya. Hanya tersisa satu lembar lima puluh ribuan dan beberapa pecahan uang lebih kecil serta recehan. Masih cukup untuk makan sampai lusa. Tapi, ia perlu sekian lembar lagi besok, atau… ia akan mencari lagi lembar demi lembar besok dan besoknya lagi.

Rumah reyot di lingkungan kumuh, ranjang tempat tidur yang hampir ambruk, tetangga samping rumah yang acuh tak acuh, semuanya selalu berseliweran mengganggu pikiran Eva. Hanya rumah itu, dan semua ‘isi’ di dalamnya, itulah segalanya yang ia punya.

“Malam ini, aku harus memperoleh banyak uang. Agar besok, aku bisa pulang!”

Sekarang Eva sedang tidur di kamarnya. Kamar yang sudah dipesan para tamu Eva, lebih tepatnya. Malam ini ia telah sukses merayu dan mengundang mereka untuk masuk hotel. Ini mungkin lebih menguntungkan, pikirnya. Kalau ia kencan dengan anak ingusan, mungkin ia harus rela bergumul di kegelapan sudut taman.

Eva mendesah. Badannya sakit, namun tak dirasanya. Semua indra dan hatinya seolah mati, tapi tidak pikirannya. Eva tidak sedang mencari kesenangan. Maksudnya bukan untuknya, tapi untuk kesenangan orang lain.

Ratusan kali Eva berkutat dengan ketakutan. Ketakutan pada dosa-dosa seperti yang ia buat sekarang, dosa pada pria-pria di hadapannya, dan juga pada penyakit-penyakit yang mungkin saja mereka tularkan kepadanya.

Sekarang sudah pagi. Dimasukkannya puluhan lembar seratus ribuan ke dompet. Eva menata kembali rambutnya. Ia akan pulang hari ini.

Angkot dari arah selatan datang. Eva memandangi pantulan wajahnya di genangan air yang menggenang di pinggir jalan. Ada sesuatu yang bening menetes dari matanya, namun cepat-cepat ia hapus. Ia tidak boleh menangis, sebab yang harus ia bawa pulang adalah kebahagiaan. Kebahagiaan untuk suami dan anak-anaknya yang sudah ia tinggalkan, demi mencari uang untuk sekadar makan. Kini, halal dan haram, persetan baginya.

Posting Komentar

1 Komentar

Silakan berkomentar. Lihat apa yang akan terjadi!