Rabu, 19 Desember 2018

Film merupakan karya seni yang tidak mengenal batasan-batasan sosial karena dapat dibuat dan ditonton oleh semua kalangan, termasuk mahasiswa kampus. Pernahkah kita berpikir, apa yang dilakukan oleh bibit-bibit sineas muda pada saat mereka butuh tontonan, tetapi sulit menemukan film yang menarik untuk ditonton? Mungkin dengan kasual mereka menjawab, “Kami akan membuat film itu!” Keresahan-keresahan inilah yang mungkin muncul di benak sekumpulan mahasiswa Universitas Sriwijaya (Unsri) ketika membentuk komunitas Videografi Unsri.


Rabu, 28 November 2018

Perkenalkan, Mark Manson ialah seorang pengusaha di Amerika dan bloger penuh waktu di blog pribadinya MarkManson.net. The Subtle Art of Not Giving a F*ck merupakan buku self improvement pertamanya yang sudah dialihbahasakan menjadi Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat.


Judul : Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat
Penulis : Mark Manson
Penerbit : Grasindo
Tahun terbit : Februari 2018 
Cetakan : Pertama 
Tebal : 256 hlm 
ISBN : 9786024526986

"Selama beberapa tahun belakangan, Mark Manson—melalui blognya yang sangat populer—telah membantu mengoreksi harapan-harapan delusional kita, baik mengenai diri kita sendiri maupun dunia. Ia kini menuangkan buah pikirnya yang keren itu di dalam buku hebat ini.

“Dalam hidup ini, kita hanya punya kepedulian dalam jumlah yang terbatas. Makanya, Anda harus bijaksana dalam menentukan kepedulian Anda.” Manson menciptakan momen perbincangan yang serius dan mendalam, dibungkus dengan cerita-cerita yang menghibur dan “kekinian”, serta humor yang cadas. Buku ini merupakan tamparan di wajah yang menyegarkan untuk kita semua, supaya kita bisa mulai menjalani kehidupan yang lebih memuaskan, dan apa adanya."

Senin, 10 September 2018

"Imitation is the sincerest form of flattery." — Charles Caleb Colton
Dari dulu, aku selalu senang memanjakan mata dengan mengunjungi toko buku. Melihat buku-buku bersampul lucu, dengan desain yang artsy, membuatku ingin memboyong semua buku dari raknya. Nanti bukunya dibaca atau nggak, itu lain soal.

Keragaman tampilan sampul-sampul buku sekarang tentunya nggak lepas dari buah tangan para ilustrator dan desainer profesional di belakangnya. Kalau kamu sering membaca novel-novel karya penulis lokal belakangan ini, tentu sudah nggak asing lagi dengan nama-nama sekaliber sukutangan atau Orkha Creative. Kehadiran mereka adalah warna baru bagi jaket yang membungkus buku-buku.

Namun sayangnya, masih banyak desainer yang berpikir bahwa beberapa hasil desain bisa disebut desain sendiri jika mereka mengubah sebagian dari karya desainer lain. Colton menyebut tiruan sebagai pujian paling tulus, tapi rasanya mencuri identitas karya orang lain sudah beda kasus.

Aku sudah menulis perihal kemiripan sampul buku ini sejak tahun 2013, tapi sampai sekarang tampaknya industri penerbitan masih kurang sensitif dengan urusan beginian. Mau sampai kapan?

Baca juga:

Senin, 03 September 2018

Alkisah seorang guru yang mengajar tentang Mitologi Yunani di satu sekolah di San Antonia, California, juga senang bercerita kepada anaknya. Setelah bosan dengan cerita yang itu-itu saja, suatu hari sang anak menantang ayahnya untuk merekayasa kisah para dewa-dewi Yunani dengan pendekatan kehidupan masa kini. Itulah asal mula lahirnya novel-novel fantasi dari tangan seorang Russel Richard ‘Rick’ Riordan.

Anastasye Natanel ialah pembaca setia karya-karya "sang guru" tersebut. Jika Rick Riordan berhenti dari profesi guru lantaran ingin fokus menulis novel, Anastasye Natanel tak perlu menghentikan apa-apa sebab ia seorang ibu rumah tangga. Dengan bermodal kecintaan pada tanah kelahirannya di Sulawesi Utara dan terobsesi berat dengan Mitologi Minahasa, novel fantasi berjudul Seira & Tongkat Lumimuut ini pun lahir. 


Judul : Seira & Tongkat Lumimuut
Penulis : Anastasye Natanel
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : Juli 2018
Cetakan : Pertama
Tebal : 244 hlm
ISBN : 9786020387673

Begitu sembuh dari sakitnya, Seira merasakan perubahan pada dirinya. Dia mendapati ada sesuatu yang lain dalam dirinya sejak bertemu perempuan aneh dalam mimpinya.

Menjadi sehat secara mendadak dan kemunculan orang-orang asing di sekitarnya menjadi awal perubahan besar dalam hidupnya: pertama, dua anak kembar di kampusnya, Mikaela dan Manasye, yang tiba-tiba menjadi sahabatnya; kedua, Siow Kurur, laki-laki tampan yang mengaku sebagai pelindungnya; ketiga, kumpulan orang yang mengenakan pakaian ala penari Kabasaran yang datang memburunya.

Bukan hanya itu, Papa juga tampak bersikap aneh. Bahkan Giddy, teman kecil Seira yang ia kenal luar-dalam, rupanya menyembunyikan rahasia besar darinya.

Hidup Seira telah berubah, ia bukan lagi manusia biasa.

Senin, 27 Agustus 2018

Aku akan merekomendasikan tiga film di blog ini dan kamu boleh merekomendasikan tiga judul film lain di kolom komentar. Bisa film lama atau baru, dari negara mana pun. Kali ini kita punya film dari Spanyol, Lebanon, dan Indonesia.


Timecrimes (2007)

Film berbahasa Spanyol dengan judul asli Los Cronocrímenes, dibuka dengan adegan sepasang suami-istri yang baru saja pindah ke rumah baru. Pada suatu sore, saat Hector (Karra Elejalde) sedang duduk santai sambil menikmati pemandangan di belakang rumahnya lewat teropong, ia melihat penampakan seorang perempuan di dalam hutan. Ketika sosok perempuan itu tampak perlahan-lahan melepas bajunya, Hector makin penasaran. Ia berniat masuk ke hutan untuk menemui perempuan tersebut.
Setibanya di hutan, Hector mendapati perempuan itu sudah tergeletak pingsan dalam kondisi tanpa busana. Saat ia hendak mendekat, tiba-tiba ada yang menusuk tangannya dari belakang. Diketahui kemudian, pelakunya ialah sosok misterius yang wajahnya dibalut perban berwarna merah muda.
Dalam debut film panjang pertamanya ini, Nacho Vigalondo berhasil membuat film thriller bertema time-travel dengan set yang sederhana, tapi tidak dengan naskah ceritanya. Walaupun motif tokoh Hector masuk ke dalam mesin waktu setelah aksi kejar-kejaran sebetulnya agak absurd, lamun yang terjadi di babak berikutnya jelas sangat mind-blowing.
Timecrimes tak perlu narasi serumit Predestination (2014) untuk membuat pikiran penonton kusut. Hanya dengan ide mengulang waktu sekian jam ke belakang, konflik film ini bisa jadi begitu kompleks.
Timecrimes lebih seperti film independen yang jarang disebut dalam daftar film-film terbaik bertema perjalanan waktu karena tak diperankan oleh aktor dan aktris ternama, padahal film ini sangat layak mendapat atensi lebih.

Selasa, 07 Agustus 2018

Aku akan merekomendasikan tiga film di blog ini dan kamu boleh merekomendasikan tiga judul film lain di kolom komentar. Bisa film lama atau baru, dari negara mana pun. Kali ini kita punya film dari Prancis, Jepang, dan Malaysia.


Genre: Action, Comedy, Crime
MICMACS (2009)

Seorang pria bernama Bazil (Dany Boon) mengalami dua insiden merugikan dalam hidupnya. Saat masih kecil, ayahnya meninggal akibat menginjak ranjau darat. Ketika Bazil dewasa, sebuah peluru nyasar mengenai kepalanya, dan membuatnya nyaris kehilangan nyawa. Saat kondisinya pulih (dengan peluru masih bersarang di kepala), ia berencana untuk membalas dendam terhadap dua perusahaan amunisi, dengan dibantu oleh sekelompok pengungsi yang tinggal di rumah 'rongsokan'.
Di tangan sutradara lain, mungkin film ini akan berakhir sebagai film aksi balas dendam tipikal John Wick (2014). Namun, Jean-Pierre Jeunet tampaknya lebih senang mengambil sudut pandang lain. Senjata adalah tema mayor film ini, tapi di sini Bazil, dkk. justru melakukan aksi balas dendam tanpa menggunakan senjata—secara harfiah. Cara mereka menginvasi target musuh pun rasanya tak kalah cerdas dengan aksi rombongan Danny Ocean di Ocean's Eleven (2001).
Sebelumnya, Jeunet sudah lebih dulu menampilkan gambar-gambar cantik di filmnya seperti Amelié (2001) dan A Very Long Engagement (2004). Dalam teknis sinematografi, Micmacs pun tak mau kalah. Film ini tetap punya visual genial yang memanjakan mata.
Micmacs bukan hanya sekadar film action-crime yang ingin menyindir industri senjata nan korup, tapi juga jadi film komedi level tinggi kendati mengusung lawakan slapstick. Salah satu film Prancis yang underrated!

Selasa, 31 Juli 2018

Aku akan merekomendasikan tiga film di blog ini dan kamu boleh merekomendasikan tiga judul film lain di kolom komentar. Bisa film lama atau baru, dari negara mana pun. Kali ini kita punya film dari Afganistan, Irlandia, dan Korea Selatan.


Genre: Drama, War
THE PATIENCE STONE (2012)

Lebih dari setengah durasi film ini hanya mempertontonkan adegan solilokui seorang istri yang 'curhat' kepada suaminya yang sedang koma. Bisa dibilang adegan tersebut adalah representasi dari judul filmnya sendiri, The Patience Stone, yang juga merupakan alegori dari batu kesabaran (syngué sabour)—batu hitam bertuah dalam legenda Persia yang diceritakan bisa menyerap penderitaan bagaikan spons.

Film produksi Iran-Perancis ini seolah ingin menyuarakan pemikiran-pemikiran perempuan yang ingin menggugat dan mempertanyakan banyak hal, diwakili oleh seorang perempuan-tanpa-nama yang terjebak dalam konflik perang di Afganistan.
Walaupun hanya didominasi obrolan satu arah, tapi penonton akan menangkap banyak sekali protes budaya dan sosial yang ingin disampaikan lewat film ini. Mulai dari isu-isu ketidakadilan yang diterima oleh perempuan di tengah masyarakat patriarki, hingga pikiran-pikiran terliar yang selama ini disimpan rapat-rapat di balik burka yang mereka kenakan.
Atiq Rahimi tahu betul pesan apa yang ingin disampaikan lewat film ini karena ceritanya diadaptasi dari novel yang ditulisnya sendiri.
Kalau kamu berpikiran terbuka dengan tontonan yang menyinggung isu feminisme, film ini jelas cocok untukmu!

Sabtu, 28 Juli 2018

Berbeda dengan Haris Firmansyah yang beli motor kreditan karena dijebak orang tua, dulu aku beli motor biar nggak tepar tiap pulang kerja.

Sebelum memutuskan ganti motor baru, sebetulnya aku sudah cukup puas punya motor gede tipe sport yang berpotensi dilirik cewek sambil teriak, "Bonceng aku, Mas!" Namun, pada akhirnya aku sadar dua hal. Pertama, ternyata motor gede agak percuma kalau tampang empunya nggak bikin pede. Kedua, pakai motor kopling itu melelahkan, Jenderal!

Bagaimana nggak, motor kopling mengharuskan tangan kita standby mengatur perpindahan gigi persneling untuk mengatur kecepatan. Jadi, tentu saja motor kopling dan kondisi jalan macet bukan kombinasi yang bagus. Sebab semakin macet jalan, makin pegal pula tangan. Rasa-rasanya, motor kopling kurang ramah untuk dipakai di jalanan macet ke kantorku yang jaraknya kurang lebih satu jam perjalanan dari Palembang.

Setelah mempertimbangkan kalau badan remuk tiap pulang kerja bukanlah ide brilian, aku mulai kepikiran untuk beli motor matik, biar simpel dan nggak rempong oper gigi apalagi main kopling. Pilihan matik pertamaku jatuh ke Yamaha X-Ride keluran tahun 2015.

Yamaha X-Ride - Orange Black - 2015

Senin, 23 Juli 2018

Aku akan merekomendasikan tiga film di blog ini dan kamu boleh merekomendasikan tiga judul film lain di kolom komentar. Bisa film lama atau baru, dari negara mana pun. Kali ini kita punya film dari India, Thailand, dan USA.

Genre: Drama
UDAAN (2010)

Dalam satu dekade terakhir, banyak sekali film produksi India yang menarik. Udaan mungkin tidak sepopuler 3 Idiots (2009), Taare Zameen Par (2007), atau Bajrangi Bhaijaan (2015); tapi selain kualitasnya bagus, rasanya ini termasuk jenis film bollywood yang langka dan sayang jika dilewatkan.
Bercerita tentang Rohan Singh (Rajat Barmecha), siswa di sekolah asrama yang di-drop out karena ketahuan menonton film 'dewasa' bersama ketiga temannya. Dengan terpaksa, Rohan dipulangkan ke rumah, dan bertemu lagi dengan ayahnya yang sudah tak ia temui selama bertahun-tahun.
Sesampainya di rumah, Rohan harus menghadapi kenyataan bahwa ayahnya tetaplah orang yang sama yang mengirimnya ke sekolah asrama delapan tahun lalu. Sosok ayah yang sangat otoriter, keras, dan temperamental. Hanya dua hal yang berubah, yaitu fakta bahwa ayahnya sudah menikah lagi—walau kemudian gagal—dan ada anak berumur 6 tahun yang kini menempati kamar tidurnya.
Udaan adalah film yang sederhana, penuh makna, dan relatable karena sering terjadi di sekeliling kita. Ada begitu banyak anak yang mengubur impiannya karena terhalang idealisme orang tua, seperti yang dialami Rohan ketika ayahnya menolak keras passion-nya sebagai penulis.
Dengan cerita yang intens, film debut Vikramaditya Motwane ini bahkan membuat kita lupa kalau tidak ada pemeran utama perempuan di dalamnya. Sebagai drama coming of age, film ini penuh ironi, tapi sangat realistis.

Jumat, 20 Juli 2018

Aku akan merekomendasikan tiga film di blog ini dan kamu boleh merekomendasikan tiga judul film lain di kolom komentar. Bisa film lama atau baru, dari negara mana pun. Kali ini kita punya film dari Irak, Ukraina, dan Prancis.
BEKAS (2012)
Genre: Drama

Dalam bahasa Kurdi, "Bekas" berarti yatim piatu. Selaras dengan judulnya, film ini menceritakan tentang sepasang kakak-adik tunawisma, tanpa ayah dan ibu, yang hidup di jalanan Kurdistan di Irak pada awal tahun 90-an.
Di bawah rezim Saddam Hussein pada masa itu, memang banyak terjadi pembantaian yang melibatkan bangsa Kurdi. Nasib kehilangan orang tua yang dialami oleh kakak beradik—Zana dan Dana—hanya potret kecil yang disorot film ini sebagai dampak kekejian penguasa Irak.
Di samping latar cerita yang serius dan cenderung sentimental, film ini berhasil menampilkan sisi humor dari kedua tokoh utama yang polos. Saking polosnya, Zana dan Dana hanya punya satu cita-cita: pergi ke Amerika untuk bertemu dengan Superman. Dengan modal naif, dimulailah perjalanan mereka menembus perbatasan Irak dengan ditemani "Coca Cola" dan "Michael Jackson".
Walaupun nggak sampai bikin mbrebes mili, tapi ada beberapa adegan di film ini yang bikin terenyuh. Terutama ketika mereka akhirnya sadar bahwa kebersamaan dalam keluarga bisa mengalahkan kekuatan Superman sekali pun.

Sabtu, 30 Juni 2018

Akhir-akhir ini aku sedang sibuk-sibuknya dengan urusan kuliah. Selain menguras pikiran, menguras tabungan juga. Karena nggak mau stres berlanjut, pulang dari kampus kemarin, aku telepon kakbro biar jemput sekalian ngajak beliau ke bioskop terdekat. Padahal sebenarnya nggak tahu mau nonton apa.

Kebetulan bioskop yang paling mudah dijangkau ada di Palembang Indah Mall (PIM). Sampai di sana, bukannya langsung cari tontonan, perut kami mendadak lapar. Biar nantinya nggak jatuh pingsan di pangkuan mbak-mbak kasir bioskop, jadi kami mampir makan lebih dulu. Bye, badan ideal!

Selesai makan siang dirapel makan sore itu, kami langsung melipir ke XXI PIM. Eh, ternyata nggak ada film yang menarik. Kakbro sempat nunjuk ke arah poster film Escape Plan 2: Hades yang "now showing" di dua studio The Premiere. Aku cuma bisa pasang muka masam, sambil bergumam dalam hati, "Hello! We're only in June, but we have found the worst movie of 2018."

Alhasil nggak jadi nonton, tuh. Terus waktu keluar bioskop dan turun ke lantai tiga, kakbro nggak sengaja lihat ada display sepeda motor. Awalnya aku belum ngeh itu motor apaan sebelum kakbro bilang, "Itu motor yang lagi hits, Yamaha LEXI."
Display Yamaha LEXI di Palembang Indah Mall
Karena aku juga baru kenal dengan motor matik yang satu ini, sekalian aja deh kita kenalan lebih jauh.

Senin, 28 Mei 2018


Masyarakat India punya dua agama (lainnya dianggap gaya hidup), yakni kriket dan film. Mereka sangat terikat dengan dua hal tersebut. Soal betapa pentingnya kriket bagi rakyat India, bisa dilihat dalam film Lagaan (2001). Sepak bola yang disebut-sebut sebagai olahraga paling populer di dunia, hanya mampu menempati urutan kedua di hati mereka. Menyoal film, tak perlu ditanya lagi, sebab Negara Anak Benua itu merupakan salah satu produsen film terbesar di dunia.

Aku bukan termasuk penonton yang fanatik dengan film atau segala hal yang berbau film, tapi aku senang sekali saat tahu ada penulis yang menuangkan kecintaannya terhadap film dengan sangat personal ke dalam sebuah buku–lebih-lebih kalau itu adalah film India.

Judul : Aku & Film India Melawan Dunia (Buku I) 
Penulis : Mahfud Ikhwan 
Penerbit : EA Books 
Tahun terbit : Januari 2017 
Cetakan : Pertama 
Tebal : 150 hlm 
ISBN : 9786020376172

Menonton film India, membahasnya, apalagi menuliskannya adalah semacam kerelaan menjadi–meminjam judul film garapan Mehmood tahun 1996 –dushman duniya ka; sang musuh semesta.

Senin, 30 April 2018

"How can you make a movie with only one character?"

Dalam sebagian besar film, pemilihan tokoh dan karakter adalah fokus utama yang diperlukan untuk menciptakan konflik, alur, serta perkembangan cerita. Semakin banyak tokoh maka semakin kompleks pula cerita yang bisa dibangun. Namun, bukan karya seni namanya kalau harus selalu menuruti standar umum adanya komposisi tokoh protagonis, antagonis, ataupun sidekick. Sebab ada beberapa film yang hanya perlu menampilkan seminim mungkin pemain bahkan aktor yang berperan tunggal untuk menyampaikan ceritanya. Film sejenis ini sering disebut dengan istilah one-man show movie.

Walaupun terlihat ringan dan terkadang dipandang skeptis karena minim bajet, sebetulnya film-film seperti ini lebih menantang karena mempertaruhkan 'kebosanan' penonton. Selain itu juga, film dengan konsep one man, one setting bukan cuma perlu didukung oleh plot cerita yang menarik, tetapi juga oleh seorang aktor dengan kualitas tinggi atau bakat luar biasa.

Film-film di bawah ini bisa dibilang mewakili formula "one-man show" yang sukses ketika dirilis. Bukan hanya karena faktor pemainnya yang berakting bagus, tetapi juga karena ide cerita dan keseluruhan filmnya memang layak dimasukkan ke daftar tonton untuk memberikan pengalaman sinematik yang nggak biasa.


1| Tom Hanks — Cast Away (2000) 
Genre: adventure, drama, romance
Memerankan karakter sebagai Chuck Noland, karyawan FedEx yang terdampar sendirian di sebuah pulau terpencil setelah mengalami kecelakaan pesawat. Film ini bukan hanya mengisahkan tentang pria versus alam, tetapi juga tentang seorang pria yang berjuang untuk tetap waras kendati hidup sebatang kara empat tahun lamanya. Disutradarai oleh Robert Zemeckis (Forrest GumpThe Walk).

2| Sam Rockwell — Moon (2009) 
Genre: drama, mystery, sci-fi
Memainkan tokoh Sam Bell, seorang astronot yang berada di ujung masa kerjanya setelah tiga tahun ditugaskan untuk tinggal di Sarang, sebuah fasilitas di bulan yang digunakan untuk menambang energi alternatif bagi bumi. Selama tiga tahun berada di luar angkasa, ia hanya berinteraksi dengan mesin robot bernama Gerty. FIlm ini disutradarai oleh Duncan Jones (Source CodeWarcraft).

3| James Franco — 127 Hours (2010) 
Genre: adventure, drama, biography
Berdasarkan kisah nyata, James Franco berperan sebagai Aron Ralston, yang terjebak di sebuah jurang bebatuan selama 127 jam atau setara lima hari lebih, setelah mengalami kecelakaan saat berpetualang sendirian ke Blue John Canyon di Utah. Film ini disutradarai oleh Danny Boyle (Trainspotting, Slumdog Millionaire) dan diadaptasi dari buku autobiografi berjudul Between a Rock and a Hard Place.

4| Ryan Reynolds — Buried (2010) 
Genre: drama, mystery, thriller
Bermain sebagai Paul Steven Conroy, rakyat sipil Amerika yang bekerja sebagai sopir truk dan sedang bertugas di Irak, negara yang sedang mengalami konflik. Suatu hari ia terbangun dari pingsan dan mendapati dirinya dikubur hidup-hidup dalam sebuah peti kayu di dalam tanah. Sulit membayangkan bagaimana rasanya terkurung dalam ruang sempit 2 x 1 meter dan hanya dimodali sebuah BlackBerry krisis sinyal dan korek api Zippo. Sesak? Tahan dulu sebelum melihat twist ending-nya.

5| Tom Hardy — Locke (2013) 
Genre: drama
Berperan sebagai seorang mandor konstruksi bangunan bernama Ivan Locke, yang di suatu malam menyetir mobil BMW-nya sendirian dalam perjalanan dari Birmingham menuju London. Sepanjang jalan, ia terlibat percakapan dengan beberapa orang lewat sambungan telepon. Sebuah perjalanan malam yang akan mengungkap sisi lain hidupnya, termasuk hubungan dengan pekerjaan dan keluarganya.

6| Robert Redford — All is Lost (2013) 
Genre: action, adventure, drama
Memainkan peran sebagai seorang pria tua yang tiada diketahui namanya, berlayar sendirian di Samudra Hindia. Suatu ketika ia tanpa sengaja menabrak kontainer yang terapung di laut lepas, yang mengakibatkan kapal yacht-nya mengalami kebocoran. Menyadari stok makanan mulai menipis, ia mulai sadar kalau kematian sedang menantinya.

___________

Selain film-film di atas, sebetulnya aku juga tertarik untuk menyebut I Am Legend (2007), Life of Pi (2012), atau The Martian (2015), tapi agak ragu karena sepertinya para aktor di film itu nggak benar-benar bermain tunggal.

Nah, kalian ada rekomendasi film yang berkonsep serupa? Silakan tulis di kolom komentar, ya!

Sabtu, 24 Maret 2018

Sudah hampir satu bulan terakhir, aku resmi jadi pekerja penuh waktu di kantor. Rutinitas yang biasanya santai, otomatis berubah total. Saking terkurasnya waktu oleh jam kerja yang padat, jadi sekarang hampir nggak ada waktu untuk sekadar nonton film, baca buku, apalagi jalan-jalan untuk mengisi feed Instagram. Waktu libur hari Minggu pun seolah jadi momen pembalasan, mesti dimanfaatkan untuk hangout ke mana saja. Karena hampir setiap hari berkegiatan formal, pagi sampai sore pakai seragam kerja, jadi saat libur inilah satu-satunya kesempatan untuk tampil santai dengan pakaian kasual.

Omong-omong soal tampil kasual, sebetulnya aku tipe orang yang nggak suka dengan apa-apa yang terlalu ribet, termasuk dalam hal berpakaian. Jadi, setiap keluar rumah, aku lebih suka pakai outfit yang simpel. Contohnya seperti outfit yang akan kubahas dalam tulisan ini. Kebetulan paduan outfit yang aku pakai kali ini semuanya adalah produk fesyen dari salah satu brand ternama di Indonesia, Carvil.



Sampai saat ini, Carvil telah sukses menelurkan berbagai produk penunjang penampilan mulai dari alas kaki hingga berbagai produk fesyen untuk wanita, pria, dan anak–anak. Tiga item dari Carvil yang sekarang aku pakai adalah polo shirt, jeans, dan sandal footbed. Mari kita ulas satu per satu.

Polo Shirt

Salah satu baju atasan paling serbaguna yang bisa dimiliki cowok selain kemeja, tentu saja polo shirt. Kaus polo bisa dibilang pakaian musim panas yang ideal dan setidaknya harus ada dalam lemari para cowok. Karena bentuknya yang semi-formal, pakaian jenis ini dapat dipasangkan dengan bawahan model apa saja baik celana pendek atau panjang, ataupun bisa disandingkan dengan outer lain seperti sweater maupun cardigan.

Pilihanku jatuh pada Carvil Polo Shirt TOS A23 dengan bahan cotton 24s lacoste. Desain kaus polo ini sangat simpel, tanpa kantong, dan cuma ada embroidery logo kecil di bagian dada. Kaus polo dari Carvil ini hampir sama dengan kaus polo merek lain, yaitu akan terlihat fit kalau dipakai oleh mereka yang berbadan tinggi dan atletis. Untuk yang bodinya kurang atletis kayak aku dan terbiasa pakai kaus standar ukuran M maka harus sadar diri agar memilih polo shirt yang ukurannya lebih kecil, yaitu S. Tapi kalau telanjur beli polo shirt yang kombor, mungkin bisa diakali dengan cara dimasukkan ke dalam bawahan seperti jeans. Mungkin agak terlihat old school, tapi Brandon Salim aja sering pakai style yang sama kok.


Sim-fit Jeans

Jauh sebelum demam jaket denim kayak yang dipakai Dilan, bahan denim hampir selalu menjadi favorit kalangan cowok, terutama dalam bentuk jeans. Beberapa tahun yang lalu, jujur aku sempat mogok pakai jeans. Soalnya waktu bobotku naik drastis melampaui angka 70 Kg, aku mesti say goodbye ke beberapa koleksi jeans di lemari. Nggak ada yang muat lagi, bos. Jadi dengan terpaksa beralih temporer ke celana chino.

Namun, sekarang model jeans sudah banyak jenisnya, nggak melulu dad-look kayak model jadul. Salah satu alasan kenapa aku masih bertahan pakai jeans karena sekarang ada yang tipe slim-fit

Bawahan celana yang aku pakai adalah Carvil Mens Jeans Vino-LB dengan ukuran 32 (lingkar pinggang 78 cm dan panjang 101 cm). Aku suka sekali motif dan warnanya yang light-blue. Apalagi bahannya denim stretch, dengan model saku belakang yang nggak norak. Tapi masalahku selalu sama tiap beli celana. Entah kenapa selalu agak kepanjangan di bagian bawah, jadi mesti dilipat atau malah dipotong sekian senti dulu biar makin necis. 

Terlepas dari apa kamu penggemar berat jeans tipe slim-fit kayak aku atau kamu lebih suka yang tampilan boot-cut, yang jelas pasti ada celana jeans yang bisa mencintaimu dari pinggang ke bawah.


Footbed sandal

Bagian terakhir yang nggak kalah penting dari rencana untuk tampil kasual adalah pilihan alas kaki. Kalau bosan pakai sepatu, kamu bisa coba substitusi dengan Carvil Anatomic Footbed Sandal kayak yang aku pakai. 

Sama seperti sandal footbed merek lain, sandal footbed dari Carvil juga didesain khusus agar mampu menjaga kesehatan kaki. Bagian tengah dari desain sandal footbed ini dibuat menyatu, sehingga orang yang memakainya akan merasa nyaman sewaktu berdiri dan berjalan. Desain yang menonjol antara jari kaki dan telapak kaki pun dapat mengurangi kemungkinan terjungkal. Bahan insole yang lembut melindungi permukaan telapak kaki, merangsang titik akupuntur selama berjalan, sehingga mengurangi rasa lelah. 

Dengan sistem proteksi tinggi seperti yang disebut barusan, susah untuk nggak jatuh hati dengan sandal ini. Terutama juga karena tampilannya yang lumayan oke untuk menyempurnakan tampilan outfit santai sesuai selera fesyenmu. Dan, pastinya nggak perlu sampai beli footbed merek luar negeri yang mahal. Cukup dengan Carvil—kualitas terjamin, awet, nyaman dipakai, dan harga juga terjangkau.

Selasa, 06 Februari 2018

Beberapa waktu lalu di lini masa Twitter muncul tagar #Japanuary. Setelah memastikan tagar tersebut nggak ada hubungannya dengan perayaan putusnya Glenn Fredly atau tanggal jadiannya Armand Maulana, aku baru paham kalau Japanuary (akronim dari Japanese dan January) itu tantangan daring untuk menonton film-film Jepang selama bulan Januari. Hmm, menarik.

Sejak menulis posting Film Jepang Favorit tahun lalu, sebetulnya aku jadi gandrung mencari film-film Jepang yang asyik untuk ditonton. Apalagi waktu kopdar mendadak bareng Kato Daisuke-san, assistant director Japan Foundation dari Jakarta tempo hari, ketertarikanku dengan film-film asal Negeri Sakura jadi makin bertambah. Kalau kita sudah kenal dengan Hayao Miyazaki atau Makoto Shinkai, maka itu baru contoh kecil dari nama-nama sineas yang karyanya layak diperhitungkan. Lagi pula film Jepang lebih dari sekadar anime, kan?

Jadi, inilah film-film produksi Jepang yang kutonton selama Januari: