Aku akan merekomendasikan tiga film di blog ini dan kamu boleh merekomendasikan tiga judul film lain di kolom komentar. Bisa film lama atau baru, dari negara mana pun. Kali ini kita punya film dari Prancis, Jepang, dan Malaysia.
Seorang pria bernama Bazil (Dany Boon) mengalami dua insiden merugikan dalam hidupnya. Saat masih kecil, ayahnya meninggal akibat menginjak ranjau darat. Ketika Bazil dewasa, sebuah peluru nyasar mengenai kepalanya, dan membuatnya nyaris kehilangan nyawa. Saat kondisinya pulih (dengan peluru masih bersarang di kepala), ia berencana untuk membalas dendam terhadap dua perusahaan amunisi, dengan dibantu oleh sekelompok pengungsi yang tinggal di rumah 'rongsokan'.
Di tangan sutradara lain, mungkin film ini akan berakhir sebagai film aksi balas dendam tipikal John Wick (2014). Namun, Jean-Pierre Jeunet tampaknya lebih senang mengambil sudut pandang lain. Senjata adalah tema mayor film ini, tapi di sini Bazil, dkk. justru melakukan aksi balas dendam tanpa menggunakan senjata—secara harfiah. Cara mereka menginvasi target musuh pun rasanya tak kalah cerdas dengan aksi rombongan Danny Ocean di Ocean's Eleven (2001).
Sebelumnya, Jeunet sudah lebih dulu menampilkan gambar-gambar cantik di filmnya seperti AmeliƩ (2001) dan A Very Long Engagement (2004). Dalam teknis sinematografi, Micmacs pun tak mau kalah. Film ini tetap punya visual genial yang memanjakan mata.
Micmacs bukan hanya sekadar film action-crime yang ingin menyindir industri senjata nan korup, tapi juga jadi film komedi level tinggi kendati mengusung lawakan slapstick. Salah satu film Prancis yang underrated!
Tiga orang teknisi yang bekerja di Kimura Electrical Company mendapat perintah dari atasannya membuat robot untuk dibawa ke sebuah acara pameran. Namun, akibat sebuah insiden, desain robot yang setengah jadi tersebut rusak beberapa hari sebelum dipamerkan. Agar tidak dipecat, sekaligus untuk menjaga nama baik perusahaan, mereka terpaksa mencari aktor yang bisa mengisi badan robot yang diberi nama Newtrend.
Di sisi lain, ada kakek tua yang tinggal seorang diri. Namanya Suzuki, hubungan dengan anak dan cucunya bisa dikatakan kurang harmonis. Untuk mengisi waktu agar tak bosan di rumah, Suzuki memutuskan mencari pekerjaan, sampai kemudian ia melihat lowongan kerja untuk pertunjukan cosplay.
Film tentang robot sama sekali bukan hal yang baru dalam budaya pop Jepang. Namun, Robo-G bukanlah tipikal film robot pahlawan kebanyakan. Tanpa perlu mengandalkan efek CGI atau sentuhan grafis komputer macam-macam, penyutradaraan dan ide cerita yang segar dari Shinobu Yaguchi sudah cukup membuat film ini istimewa.
Meski plot ceritanya cenderung linear, tapi menarik melihat bagaimana dua konflik utamanya saling beriringan, dengan porsi yang pas, dan memiliki solusi masing-masing. Salah satu film favoritku lagi dari Yaguchi, setelah Wood Job! (2014), Survival Family (2016), dan Swing Girls (2004).
Film ini diangkat dari kisah nyata Cheryl Ann Fernando (Sangeeta Krishnasamy), seorang guru bahasa Inggris di Sekolah Menengah Kebangsaan (SMK) Pinang Tunggal yang berada di pedesaan Sungai Petani, Kedah. Memasuki tahun ketiga sebagai cikgu alias guru di sana, Cheryl dipercaya melatih 35 murid yang akan mengikuti Choral Speaking Competition—kompetisi berbicara bahasa Inggris dengan format paduan suara.
Dalam bahasa melayu, Adiwiraku berarti "my superhero". Cikgu Cheryl menganggap murid-muridnya ibarat pahlawan yang berjuang melawan keterbatasan karena mayoritas dari mereka berasal dari keluarga kurang mampu. Selama enam bulan ia mengalami banyak benturan dalam membina tim speaking, sampai akhirnya perjuangan itu berbuah manis.
Sebelum difilmkan, kisah inspiratif ini sempat viral di media sosial—hingga akhirnya sampai di telinga sutradara asal Singapura, Eric Ong. Keputusan yang berani mengingat ini film pertamanya, apalagi tanpa memakai aktor-aktor kelas A di Malaysia.
Meski jauh dari predikat komersial layaknya Munafik (2016)—film terlaris sepanjang sejarah perfilman Malaysia, tapi dari segi tema Adiwiraku ibarat oasis di tengah maraknya genre horor. Adiwiraku bahkan menunjukkan tajinya saat menjadi film terbaik di ajang Malaysia Film Festival ke-29 dan membawa nama Jason Chong sebagai penulis naskah asli terbaik.
Pada akhirnya, film ini berhasil mengingatkan kita bahwa tugas guru bukan hanya sekadar mengajar, tapi juga mendidik. Adiwiraku menunjukkan bagaimana sosok seorang guru ternyata bisa memengaruhi laku banyak orang. Mau tidak mau, penonton akan terngiang apa yang sering diserukan Cikgu Cheryl: "Sakit itu sementara. Kegemilangan itu selamanya."
It's your turn! Can you suggest me some good movies?
1 Komentar
Maaf, Kang, saya tidak punya film untuk direkomendasikan karena semuanya sudah kamu tonton.
BalasHapusSilakan berkomentar. Lihat apa yang akan terjadi!