Selasa, 23 Oktober 2012

 “Aduh! Mataku perih.”

Tia masih mengucek-ngucek matanya yang mulai memerah.

“Toloooong!!!”

Tak ada yang mendengar.

Jauh dari tempatnya bersuara, telepon genggamnya berdering. Ada satu pesan masuk.

Dari: Mama
Pesan: Tia, mama ada panggilan mendadak dari kantor. Oh iya, kalo kran air masih macet, kasih tahu Mang Kosim aja biar nanti diperbaiki.


---------------------
Flashfiction ini ditulis untuk proyek #Macet NBC Unsri

“Keluar dari sini, Mama sudah muak dengan kelakuan Papa.”

“Tapi, Ma, dia cuma rekan bisnis Papa. Nggak lebih dari itu.”

“Cuma rekan bisnis? Nyatanya tadi Mama lihat kalian berciuman di kantor? Papa masih mau berkilah?”

Rido mendengarkan percakapan orang tuanya dari pintu rumahnya yang setengah terbuka. Dia berdiri mematung menahan dadanya yang sesak dan kepalanya yang berat memikirkan cara untuk mempersatukan kedua orang tuanya yang hampir setiap hari bertengkar. Dia kehabisan akal. Kehabisan kata-kata. Dia berlari, menahan isak tangis yang nyaris meledak. Dengan masih mengenakan seragam merah-putihnya, dia berlari mencari tempat yang bisa menenangkan hatinya, yang bisa menutupi kepedihan yang dirasa.

Dia berhenti di depan sebuah toko buku yang terletak tak jauh dari rumahnya. Berpikir sejenak, lalu dengan ragu memasukinya.
“Dik, tasnya dititipkan dulu di sana, ya,” himbau satpam yang berjaga di dekat pintu masuk. Rido membalas dengan anggukan lemah.

Senin, 22 Oktober 2012

Minggu lalu adalah minggu yang bersejarah buat gue. Akhirnya, gue kesampean juga makan sushi. Dan, fix GUE GAK SUKA. Makan sushi itu rasanya kayak makan (kapsul) minyak ikan yang langsung dijilatin dari ikannya.  Ada sih satu menu yang lumayan enak di lidah, entahlah namanya apa gue lupa. Yang pasti agak mirip-mirip sama nama tokoh-tokoh anime Pokemon. 

Benar kata Mie Sedaap, kalo lidah memang gak bisa bohong. Segimana pun teman-teman semacam ketagihan makan sushi, gue lebih memilih ngemil kerupuk yang ditambah sambel sachet-an. Terserah deh orang mau bilang norak. Emang gue dari sononya anak kampung. Hahaha.

Eh, ngomongin soal 'rasa', kemarin gue sempat baca buku keren dong. Judulnya "Rasa Cinta", hadiah menang kuis dari Tante @ijotoska di twitter. Nih, gue review~

Minggu, 21 Oktober 2012


Dengarlah, Bejo.

Setiap perjalanan adalah kenangan. Semua pelajaran pantas untuk dikenang.
Namun, ini baru permulaan. Setidaknya untukmu. Untuk sebuah rasa yang kau anggap tabu.

Semua tampak begitu menyenangkan. Ya, karena ini baru permulaan.
Biarkan menjadi kejutan di depan. Esok, siapa yang akan tahu, rasa itu akan menjadi candu.

Memang, ada yang tak pantas untuk diperjuangkan.
Mungkin ada bagian yang pantas untuk dilupakan.
Artinya itu pertanda untuk mengambil jalan baru. Semuanya tergantung kamu.

Teruntukmu, Bejo.

Kelak, bila kau mulai pandai mengeja, mulai bisa merangkai kata, belajarlah untuk mengenal rasa.
Ya, itulah yang sering mereka sebut cinta.

Pahami dengan seluruh pikiran. Pahami arti kesedihan.
Mungkin saja nanti berujung luka.



------------------------
puisi ini ditulis untuk Lomba Puisi Gobel Awards 2012

Sabtu, 06 Oktober 2012



Hari itu, aku lupa hari apa, yang aku ingat saat itu aku sedang berbicara dengan seorang wanita bersuara lembut di ujung telepon. Namanya Elina Hidayati. Wanita yang resmi kupanggil “ibu” sejak aku dilahirkan ke tempat kecil yang aku sebut bumi. Ya, bumi hanyalah tempat kecil, menurutku. Karena aku selalu berimajinasi bahwa Allah menciptakan tempat yang jauh lebih luas daripada bumi, aku menyebutnya surga. Apa benar surga lebih luas daripada bumi? Entahlah, mungkin ibu lebih tahu.
“Assalamu’alaikuum.”
“Wa’alaikumussalam.”
“Apa kabar, Do?”
“Alhamdulillah, sehat, Bu.”
“Minggu ini Rido mudik?”
“Belum tahu, soalnya masih banyak tugas kuliah.”
“Kalau bisa, mudik ya. Ibu lagi kurang sehat, sudah dua hari ini badan Ibu lemas.”
“Memangnya Ibu sakit apa?”
“Biasa, sesak napas Ibu lagi kambuh. Padahal sudah minum obat, tapi sampai sekarang belum membaik. Oh iya, ini Ayahmu mau ngomong….”
“Halo, Do.”
“Iya, Yah.”
“Minggu ini bisa mudik nggak?”
“Belum tahu, Yah. Lihat situasi dulu. Perasaan baru minggu kemarin aku mudik, masa disuruh mudik lagi?”
“Lah? Ini kan rumah kamu. Orangtua kamu tinggalnya di sini. Kok ngomong gitu?”
“Iya, iya, nanti diusahakan mudik.”
Kira-kira seperti itulah percakapan kami—aku, ibu, juga ayah—via telepon genggam. Intinya, aku disuruh mudik untuk menengok keadaan ibu. Entah kenapa ada yang sedikit mengganjal di pikiranku setelah percakapan itu. Kenapa seperti ada ‘panggilan khusus’ yang menyuruhku pulang ke rumah? Mungkin ini yang namanya firasat.