Hari itu, aku lupa hari
apa, yang aku ingat saat itu aku sedang berbicara dengan seorang wanita
bersuara lembut di ujung telepon. Namanya Elina Hidayati. Wanita yang resmi
kupanggil “ibu” sejak aku dilahirkan ke tempat kecil yang aku sebut bumi. Ya,
bumi hanyalah tempat kecil, menurutku. Karena aku selalu berimajinasi bahwa
Allah menciptakan tempat yang jauh lebih luas daripada bumi, aku menyebutnya
surga. Apa benar surga lebih luas daripada bumi? Entahlah, mungkin ibu lebih
tahu.
“Assalamu’alaikuum.”
“Wa’alaikumussalam.”
“Apa kabar, Do?”
“Alhamdulillah, sehat,
Bu.”
“Minggu ini Rido mudik?”
“Belum tahu, soalnya
masih banyak tugas kuliah.”
“Kalau bisa, mudik ya.
Ibu lagi kurang sehat, sudah dua hari ini badan Ibu lemas.”
“Memangnya Ibu sakit
apa?”
“Biasa, sesak napas Ibu
lagi kambuh. Padahal sudah minum obat, tapi sampai sekarang belum membaik. Oh
iya, ini Ayahmu mau ngomong….”
“Halo, Do.”
“Iya, Yah.”
“Minggu ini bisa mudik
nggak?”
“Belum tahu, Yah. Lihat
situasi dulu. Perasaan baru minggu kemarin aku mudik, masa disuruh mudik lagi?”
“Lah? Ini kan rumah
kamu. Orangtua kamu tinggalnya di sini. Kok ngomong gitu?”
“Iya, iya, nanti
diusahakan mudik.”
Kira-kira seperti itulah
percakapan kami—aku, ibu, juga ayah—via telepon genggam. Intinya, aku disuruh
mudik untuk menengok keadaan ibu. Entah kenapa ada yang sedikit mengganjal di
pikiranku setelah percakapan itu. Kenapa seperti ada ‘panggilan khusus’ yang
menyuruhku pulang ke rumah? Mungkin ini yang namanya firasat.
Jumat, 29 April 2011 (dalam waktu Ashar)
Aku sedang di dalam
sebuah mobil, menuju kampung halaman, tanah kelahiran, rumah kediamanku dan
keluarga sederhanaku. Baru seminggu yang lalu aku melewati jalan yang sama.
Dua desa lagi yang harus
dilalui untuk sampai di desa tempat tinggalku. Ketika itu sedang hujan lebat.
Hujan di bulan Mei mungkin dianggap sebagai berkah oleh penduduk desa sekitar
sini, mengingat bulan ini identik sekali dengan musim kemarau.
Aku mengirim pesan
kepada ibu, isinya adalah memberitahukan bahwa aku hampir sampai di rumah, dan
menyuruhnya menyiapkan payung untukku. Namun, tidak berapa lama hujan sudah
reda. Itu artinya aku sudah tak butuh payung. Mungkin karena itu, jadi aku tak
melihat ibu di depan rumah membawakan payung untukku di tangannya.
Sabtu, 30 April 2011 (dalam
waktu Isya’)
Sudah dua malam ini aku
di rumah. Rumah pertamaku sebelum tinggal di sebuah kamar kontrakan di sekitar
kampus tempatku kuliah. Aku lebih suka di sini, jelas. Di sini aku tidak
sendiri. Ada ibu dan ayah di tempat ini. Ketiga saudara kandungku lainnya sama
denganku, menuntut ilmu di daerah orang. Jika aku hanya butuh waktu 2 jam untuk
mudik, maka mereka bertiga butuh sekian jam untuk pulang ke rumah. Itu salah
satu alasan kenapa aku yang pertama disuruh pulang untuk menengok keadaan ibu di
rumah ini.
Sesak napas ibu masih
sering kambuh, seperti yang aku lihat sekarang. Entah sudah berapa jarum suntik
yang masuk ke tubuhnya malam ini, aku tak sanggup untuk menghitung.
Ibu sudah berbaring di
tempat tidur, posisiku ada di sebelahnya. Kami sama-sama belum terjaga. Di luar
kamar, masih terdengar suara ayah melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an.
“Kamu setiap minggu
pulang saja ke rumah kalau nggak ada kegiatan kuliah,” kata ibu seraya
mengusapkan tangannya di kepalaku, masih dalam posisi berbaring di tempat
tidur.
“Iya, Bu.”
“Kenapa ya, sejak
kemarin ibu takut sekali tidur malam. Ibu takut ibu nggak bisa bangun lagi
kalau sudah tidur.”
Aku diam. Aku bingung
kalimat apa yang pantas aku pakai untuk menjawab keluhan ibu. Ada hening yang
panjang hingga akhirnya kami pun terlelap dalam mimpi masing-masing.
Minggu, 1 Mei 2011 (dalam waktu Subuh)
Aku dibangunkan paksa
oleh suara-suara batuk yang berasal dari mulut ibu. Di samping kasur tempat
tidur, tampak ayah sedang mengusap punggung ibu dengan minyak kayu putih.
Kulihat tubuh ibu berkeringat, mungkin ia merasa gerah. Aku bantu mengelap
keringatnya dan sesekali mengipaskan kain selimut ke badannya, bermaksud
mengurangi penat yang ia keluhkan.
Ibu berupaya berdiri,
masih dengan bantuan ayah. Ia sudah lelah berbaring dan duduk, katanya.
Napasnya tidak teratur, tersengal-tersengal di antara suara rintik hujan di
luar sana. Inhaler berwarna biru—teman setia ibu dalam melawan penyakitnya—pun
sudah tidak mempan untuk membantunya bernapas.
Ibu hampir roboh dari tegaknya.
Aku dan ayah memapah tubuhnya untuk dibaringkan di atas kasur. Embusan
napasnya melemah. Mukanya yang sewaktu muda begitu cantik—kata ayah—kini tampak
memutih pucat.
Ayah menyuruhku
memanggil dan meminta bantuan kepada tetangga di dekat rumah. Hanya dua rumah
yang aku datangi, melaporkan keadaan ibu ketika itu. Setelahnya, aku langsung
kembali ke rumah.
Di dalam kamar kecil
itu, kudapati tubuh ibu yang semakin melemah di dalam pangkuan ayah. Kali ini
matanya setengah terpejam. Lalu matanya semakin redup, diiringi helaan napas
yang semakin mengecil. Dan, tanpa permisi lagi, tanpa ada aba-aba, malaikat
yang diutus Allah pun datang, mengabaikan aku dan ayah yang masih tafakur dalam
kekakuan. Malaikat itu telah mengambil sosok ibu dari kehidupanku.
“Sekarang, kita
ikhlaskan kepergian Ibu ya, Do,” kata ayah, mencoba menyembunyikan air mata di
balik ketegarannya. Kualihkan pandanganku ke sosok yang tak lagi bernyawa di
pangkuan ayah. Ibu telah lebih dulu menghadap-Nya.
3 Komentar
:)
BalasHapuspasti becucuran pas nulis ini
Turut berduka cita Ya Do. Smg Almarhumah dapat tempat terbaik di sisiNya.
BalasHapusallahummafirlaha warhamha waafiha wa'fuanha :)
BalasHapusSilakan berkomentar. Lihat apa yang akan terjadi!