Rabu, 26 Februari 2014

Genap satu bulan aku putus dengan Widi. Penyebabnya sungguh sepele. Aku menolak permintaan Widi untuk menuliskan username Twitter-nya di bio Twitter-ku.

“Ay, cantumin namaku di bio kamu dong. @siputriwidi’s gitu.”

“Nggak ah. Malu-maluin.”

“Jadi kamu malu punya pacar kayak aku?”

“Jangan marah dulu…”

“KITA PUTUS!”

Begitulah kronologis putusnya hubungan kami. Sepele. Kupikir ini lebih sepele daripada kasus hengkangnya Morgan dari grup boyband Sm*sh dengan alasan ingin fokus kuliah, padahal nggak lama dari itu malah sibuk main sinetron stripping. Cih!

Entah kenapa, hari ini aku kangen Widi.

Sejak kami putus, aku tahu kalau dia deactive account. Pupus sudah harapan untuk stalking aktivitasnya di Twitter.

“Do, rupanya Widi ganti akun baru jadi @kopilovie!” Harry, temanku, mengirimkan pesan lewat direct message.

Tanpa pikir panjang, langsung kutelusuri username yang dimaksud.

Belum sempat aku scroll down linimasa Widi, jempolku langsung kugerakkan untuk membalas DM dari Harry dengan cekatan.

“Kamu nyuruh cek akun barunya cuma buat ngasih tau kalau cowok di avatar-nya lebih ganteng daripada aku? Kampret!” 

Sabtu, 15 Februari 2014

Pernah ada yang bertanya, "Kenapa di sekolah kita jarang ada lomba puisi?" Mungkin maksud si Penanya adalah lomba menulis dan membacakan puisi.
Lalu, ada yang menjawab, "Kenapa membacakan puisi harus menunggu diadakan lomba?" Pertanyaan yang mengandung pernyataan bahwa tak seharusnya puisi menjadi hal-hal yang musiman layaknya penghujan, durian, dan liburan.
"Aku, kamu, dia, dan segelintir manusia, sama-sama memuja—tulisan berima yang disebut jelata pada umumnya sebagai—puisi. Lantas, kenapa kita tak merayakannya bersama?"

Kini, pertanyaan itu sudah terjawab. Walaupun bukan satu-satunya hal benar yang menjadi jawaban, tapi bisa dijadikan opsi paling mungkin di dalam salah satu soal pilihan ganda.

Malam Puisi.

Minggu, 09 Februari 2014

Sebenarnya mau kritik buku ini langsung lewat jaringan pribadi ke penulisnya. Karena memang akrab dan sering ketemu. Proses beliau nulis buku ini juga aku ikutin, walaupun aku nggak dipercaya jadi draft reader sama sekali. Tega kamu, Bim!


Setelah novelnya terbit, baru deh disuruh review. Baiklah. 
Oh, iya, aku lupa belum kenalin siapa penulisnya. Namanya Bimo Rafandha, tapi biasa pakai nama pena Rafandha. Bukan, dia bukan mantan VJ yang pacarnya Bisma Sm*sh itu. Karena Rafandha bukanlah Franda. 

Mari kita skip kegaringan di atas dan segera beranjak ke review isi bukunya.



Judul : I'm (Not) Your Bodyguard
Penulis : Rafandha
Penerbit : GACA (DIVA Press Group)
Tahun terbit : Januari 2014
Cetakan : Pertama
Tebal : 209 hlm
ISBN : 9786022554264


"A friend is one that knows you as you are. understands where you have been, accepts what you have become, and still, gently allows you to grow." - William Shakespeare

Pelan-pelan, siluet yang ia lupakan tadi muncul kembali ke otaknya. Potongan gambar pertama, ia melihat dirinya sendiri berlari menyusuri lorong-lorong rumahnya dengan bertelanjang kaki. Potongan kedua, ia melihat anak kecil lain, lebih kecil darinya ikut berlari. Bahkan anak kecil itu mendahului dirinya sendiri. Potongan terakhir, sekaligus potongan yang membuat kepalanya semakin keras berdenyut adalah kenyataan bahwa perlahan, tubuh anak yang lebih kecil darinya itu tidak muncul lagi di permukaan kolam. Lalu mendadak, semua kembali menjadi gelap. Suram. Bumi tak bersuara...

Rabu, 05 Februari 2014

“Maafin Dona, Mih. Tapi Mamih harusnya sadar, dia itu laki-laki berengsek.”

Dona menahan isaknya yang nyaris meledak.

“Laki-laki yang Mamih percaya sebagai pengganti papa buat Dona, laki-laki yang Dona setujui menjadi suami baru untuk Mamih, laki-laki itu juga yang kemarin merusak masa depan Dona.”

“Aww!” Mamih menampar pipi sebelah kiri Dona. “Ampun, Mih!”

Kaki kanan Mamih mendarat indah di paha dan punggung Dona, secara bergantian.

Dona mengerjapkan matanya. Ditatapnya langit-langit kamar yang bercat putih. Ini sudah sekian kalinya ia dibayangi rasa bersalah semenjak kejadian yang menimpanya beberapa hari yang lalu.

Keputusan Dona membeberkan pelecehan Om Danis terhadapnya, ternyata menyulut amarah Mamih. Amarah yang ditujukan pada Dona, korban pelecehan. Berkali-kali Dona menjelaskan kalau posisinya adalah korban. Mamih tetap menyangkal, malah menuduh Dona sebagai wanita penggoda, dan mengusirnya.

Dona masih menatap langit-langit kamar ruangan instalasi gangguan mental. Di bola matanya, terlihat kobaran api yang menyala-nyala, membakar dua tubuh manusia yang sedang telanjang bulat dan saling berangkulan.

“Selamat malam pertama, Mamih dan Om Danis.”





Minggu, 02 Februari 2014

Selamat malam, dermawan bertinja emas...
Turunlah sejenak dari ranjangmu
Tengok ranah dan rekam jerit saudaramu
Di antara bangunan yang kucar-kacir itu, 
ada anak-pinak yang memakan cemas

Maukah kau kuberitahu kabar mereka?
Mereka—yang sebut saja—sanak saudara
Mereka—yang katanya—penyandang tunawisma
Biar kuberitahu... Mereka bukan pengemis
Mereka juga bukan kumpulan orang pesimis
Mereka hanya daging-daging hidup kurang beruntung, 
manusia-manusia malang yang sedang berkabung

Selamat malam, dermawan berupil berlian...
Memelipirlah sejenak dari rutinitas berhargamu
Dengarlah parau suara anak kecil berwajah pilu
Anak-anak yang ingusnya tak mengenal tisu
Di antara bangunan yang porak-poranda itu, 
ada keluarga tak sedarah-mu merabunkan masa depan

Suram...
Kelam...
Mereka masih sibuk meraba-raba makna bencana

---------
1 Februari 2014,
ditulis untuk Malam Puisi Palembang dalam rangka menggalang dana untuk korban erupsi Gunung Sinabung

Dibacakan oleh Dyaz Afryanto