Selasa, 18 Desember 2012


Hari ini, aku bangun tidur pagi-pagi sekali. Bahkan sebelum ibu sempat membangunkanku. Kulirik jam butut yang menggantung mencolok di dinding bambu kamarku, jarum pendeknya tepat berada di angka lima.

Aku sudah selesai mandi dan sekarang sedang bersiap dengan rutinitasku berjualan di pasar setiap hari Minggu pagi. Kutenteng bakul berisi ubi jalar yang beratnya entah berapa kilo, yang pasti cukup untuk membuat bahu kanan dan kiriku tak seimbang. Aku tidak sendiri, ada adik perempuanku yang berumur lima tahun selalu setia menemani. Walaupun tugasnya hanya sebagai pembawa seikat kantong plastik yang sengaja disiapkan untuk mengantongi ubi jalar jika ada yang membeli.

Sepanjang hari ini, ubi jalar jualan kami hanya laku delapan kilo. Dan itu pun harus berdebat kecil dulu dengan ibu-ibu yang menawar harga dengan kejam. Kadang aku heran dengan mereka yang  tega menawar lebih dari setengah harga. Padahal yang ingin mereka beli itu makanan, bukan barang mewah yang harganya sekian juta dan hanya dijadikan pajangan atau sekadar alat dandan.

Hari sudah sore. Aku memutuskan untuk pulang karena tak tahan mendengar rengekan adikku yang sedari tadi mengeluh kelaparan. Hampir aku mau membawa sisa dagangan, tiba-tiba ada sepasang suami-istri yang menghampiri kami.

“Ubi jalarnya masih ada?” tanya si istri.

“Masih banyak. Mau beli berapa kilo?”

“Tolong dibungkus semuanya.”

Hari sudah semakin petang, akhirnya kami memperoleh beberapa lembar uang.  Adikku tersenyum girang karena suami-istri itu memborong semua jualan kami. Aku hanya bisa tersenyum getir melihat tawa kecil adikku. Dia masih polos dan sebaiknya tak tahu masa lalu.

Seandainya kamu tahu, Dik, siapa suami-istri yang memborong jualan kita tadi. Aku yakin pasti tawamu tak akan selepas ini, bisikku dalam hati.

Tiba-tiba aku teringat raut wajah ibu di rumah. Ternyata ayah sudah bahagia, Bu, dengan perempuan yang merebut kebahagiaan kita lima tahun lalu.

Rabu, 12 Desember 2012

Sekitar sebulan yang lalu, entah kenapa gue tetiba rajin banget nongkrong di Gramedia. Mulai dari Gramedia Palembang Square sampe Gramedia Atmo. Ada niat mau nambah koleksi di rak buku di kamar, tapi belum buat lis mau beli buku apa. Ya, kadang gue memang kehilangan visi dan misi dalam hidup.

Hari pertama hunting buku ke Gramedia PS, seperti biasa penyakit bingung-mau-beli-buku-apa gue kumat. Lagi-lagi harus ambil hape, buka twitter, terus minta rekomendasi ke para Tuips (sebutan untuk penggiat twitter). Tapi, sebelum sempat nanya, gue gak sengaja baca tweet-nya @adygila di timeline. Ilham pun turun… Morgan dan Bisma joget-joget. Gue langsung kepikiran untuk beli bukunya Ady, yang judulnya Curcol si Rantau Kacau. Buku ini sebenarnya udah terbit lumayan lama, tapi dari dulu setiap mau beli pasti gak jadi karena keadaan dompet yang pukpuk-able. Gue langsung bergerilya cari itu buku, namun nihil. Gue cek di database komputer, benar aja, stok bukunya 0. Sebenarnya, stok buku 0 gini gak melulu karena bukunya laku keras sih, makanya gue langsung berasumsi jangan-jangan bukunya Ady sengaja dibuang ke gudang oleh pegawai Gramedia karena gak laku dan jamuran. Gue memang kadang suudzan berlebihan. Dan, hari itu gue gak beli buku apa-apa.

Besoknya, gue kembali nongkrong di Gramedia. Tapi kali ini nyasar ke Gramedia Atmo. Masih penasaran dengan buku yang gak ketemu kemarin, gue pun kembali menjelajah rak buku 'Novel Indonesia'. Namun, tetap nihil. Gue lari ke meja komputer, ngecek ketersediaan buku. Ternyata masih ada stok 14 eksemplar. Gue pun kembali menyusuri semua rak buku novel Indonesia bahkan novel terjemahan, tetap gak ketemu juga. Sampai akhirnya, setelah peluh bercucuran dan Ussy Sulistyawati melahirkan, gue melihat seonggok buku Curcol si Rantau Kacau di rak buku anak-anak. Iya, di rak buku ANAK-ANAK, pemirsaaa! Tumpukan buku ini disusun bersebelahan dengan buku-buku dongeng dan cerita anak semacam Shaun The Sheep dan kerabatnya. Seandainya pegawai toko buku tahu kalo isi buku ini semi vulgar, mungkin mereka akan merasa dikejar dosa seumur hidup karena udah khilaf menaruh buku ini berdampingan dengan buku yang memang layak dikonsumsi oleh anak-anak. Sungguh tak termaafkan.

Padahal judul postingan ini review, tapi basa-basinya kok panjang amat ya. Ya udah, langsung gue mulai review aja. Yuk capcuuuuss!


Judul : Curcol si Rantau Kacau
Penulis : Nugraha Adi Putra
Penerbit : Bukuné
Tahun Terbit : 2012
Cetakan : Pertama
Tebal : 196 hlm
ISBN : 602-220-029-6


Jalan-jalan di tanggal tua tentu bermasalah dengan keuangan. Semua reflek ngecek isi dompet masing-masing. Ternyata kami semua kompak, satu jiwa satu hati. Di dompet cuma ada satu lembar uang kertas 50 ribuan. Karena kami adalah turis yang low budget (baca: turis yang pengen liburan sepuas-puasnya tapi duit seminim-minimnya), kami pun mencari alternatif untuk menekan biaya.

"Gimana kalo naik kereta api?" untung memberikan alternatif kedua selain bis. "Naik kereta api???" gue sumringah. "Iya, naik kereta api," jawab untung. "SERiuS NAiK KERETA APi? WAH SERiuS YA? SERiuS NAiK KERETA APi TUT-TUT-TUT???" gue makin sumringah. Semua ngeliatin gue. "Dy ? Lo nggak apa-apa kan?" "GUE NGGAK APA-APA KOK, SENENG AJA NAiK KERETA APiiiii, TUT-TUT-TUT." Ngeliat gue kambuh, temen gue mulai baca yasin.

***
Curcol si Rantau Kacau menceritakan kisah konyol Ady, seorang anak asal Kalimantan yang merantau ke Jawa untuk menjadi mahasiswa Akuntansi. Perjalanan ini membawa banyak cerita, dari mulai pertama kali naik pesawat terbang, pertama kali naik kereta api, culture shock dengan makanan pedas, dan kisah cintanya yang mengenaskan. Belum lagi kisah-kisahnya sebagai mahasiswa Akuntansi, triknya menghadapi kuis-kuis dadakan, galaunya menghadapi mata kuliah yang sulit, dan kesehariannya nyemil kalkulator.