[Review] 24 Jam Bersama Gaspar — Sabda Armandio

Mengapa di setiap cerita, kebaikan selalu menang?

"Hitler membasmi Yahudi atas nama kebaikan, Suharto melenyapkan orang atas nama kebaikan, motivator memberi kesadaran palsu kepada para pendengarnya atas nama kebaikan," ujarnya pada sebuah wawancara. Lantas, apakah makna dari kebaikan itu sendiri? Sabda Armandio melahirkan Gaspar dari pemikiran-pemikiran itu dalam novelnya, 24 Jam Bersama Gaspar. Novel ini merupakan salah satu pemenang unggulan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 2016. 

Bisa dibilang aku bukan pembaca setia novel-novel jebolan lomba DKP karena sejauh yang kuingat aku baru berhasil membaca dua judul; Di Tanah Lada dan Puya ke Puya. Sama seperti dua novel tersebut, alasan utamaku tertarik membaca novel ini karena blurb yang menarik serta ulasan-ulasannya. Jadi, aku mencoba melanjutkan estafet ulasan itu setelah membaca 24 Jam Bersama Gaspar dalam tempo 24 jam.

Judul : 24 Jam Bersama Gaspar
Penulis : Sabda Armandio
Penerbit : Buku Mojok
Tahun terbit : April 2017
Cetakan : Pertama
Tebal : 228 hlm
ISBN : 139786021318485

Tiga lelaki, tiga perempuan, dan satu motor berencana merampok toko emas. Semua karena sebuah kotak hitam.


24 Jam Bersama Gaspar mengangkat kisah detektif pada level yang berbeda, dengan konflik sederhana sebetulnya: seorang tokoh protagonis bernama Gaspar, mengajak satu motor dan lima orang secara manasuka untuk merampok sebuah toko emas, karena obsesinya pada sebuah kotak hitam yang tersimpan di sana. Tapi setelah mengenal karakter tiap tokoh yang terlibat, dipikir-pikir agak rumit juga. Tiga lelaki, tiga perempuan, dan satu motor berencana merampok toko emas? Alih-alih tragedi perampokan, dengan komposisi seperti itu aku malah membayangkan kisah tentang persaingan regu putra dan regu putri dalam memperebutkan doorprize sebuah sepeda motor. Untungnya bukan.
"Beberapa orang jadi menarik karena mempertahankan sifat polosnya. Saat kau kecil kau akan tampak imut setengah mati dengan kepolosanmu yang pelan-pelan berubah menjadi ketololan yang tentu tak kalah lucunya seiring usia bertambah. Tak perlu-perlu amat mengoreksi orang tolol, kukira, aku bisa menikmatinya seperti menikmati lenong atau komedi tunggal Rowan Atkinson."
Novel ini disampaikan penulis dengan gaya menulis yang penuh alusi, sarkastis, satire nan meledak-ledak. Dialog-dialog yang terkesan sepele, tapi bernas. Kadang terlihat serius sekali, kadang terasa asal, jenaka, dan intelek dalam waktu bersamaan. Misalnya, menyoal sindiran terhadap film Fight Club sampai diadakan forum diskusi khusus oleh para pemuja Brad Pitt, walaupun tokoh Gaspar harus mengakui kalau film itu memang cukup apik sebagai pelopor film dalam genrenya.

Rasanya referensi penulis tentang film memang banyak disebut di sini. Bahkan konon nama Gaspar dicomot dari nama Gaspar Noé (sutradara film Love, yang bikin meneguk ludah itu), dan aku yakin nama tokoh penulis fiktif Arthur Harahap pun diambil dari Sir Arthur Conan Doyle (pengarang serial detektif Sherlock Holmes). Selain film, tentu referensi buku dan musik juga banyak dicatut penulis di sini, tapi aku lalai mengingat satu per satu sekaligus lupa fungsi utama Post-it.
"Saya penasaran mengapa semua orang tertarik dengan kotak jelek itu, tapi sayangnya bukan kapasitas saya untuk ingin mencari tahu jawabannya."
Sejujurnya buku ini belum bisa memuaskan secara keseluruhan, soalnya masih ada hal-hal yang terasa mengganjal setelah menutup halaman terakhir. Entah soal isi kotak hitam yang dibiarkan tetap mengabur, atau soal nasib pria bertopeng setelah nostalgianya dengan Gaspar. Mungkin aku saja yang terlalu peduli.

Intinya, membaca novel ini menjadi pengalaman baru yang menyenangkan, sensasinya seperti menonton film-filmnya Quentin Tarantino. Aku suka bagaimana cara penulis menyampaikan keresahannya tentang senjang antara baik dan jahat, serta idenya untuk menabrak pakem cerita detektif kabanyakan. Apalagi potongan wawancara antara polisi berkumis dengan nenek-nenek nyinyir di tiap akhir bab, itu genius menurutku.

Semoga aku punya kesempatan membaca novel-novel segar seperti ini lagi. Tabik!

Posting Komentar

14 Komentar

  1. Bijingsek. Sempat kepikiran sih kalau nama tokohnya itu diambil dari nama sutradara film super duper romantis, Om Gaspar Noe yang budiman. Ternyata emang bener. Nice info, Kang Rido.

    Tau novel ini dari ritwitannya Mas Don. Dan Yoga ngefans berat sama penulis novel ini. Aku jadi mikir kalau pengetahuan film yang dipunyai sama Sabda Armandio Alif, selain karena dia suka nonton film, juga karena dia sahabatan sama Mas Don. Nice info, Cha....

    Btw aku penasaran. Formasinya dua trio gitu tapi motornya cuma satu ya? Hmm. Bikin fantasi jadi liar ke mana-mana....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Informatif sekaligus too much information sekali, Cha. Haha

      Hapus
  2. Wah, wah, wah. Berarti ini termasuk salah satu buku yang direkomendasikan ya, Kang?

    BalasHapus
  3. Mantap langsung review! Gue masih pengin baca bukunya lagi nih. Gak biasa nge-review juga, sih. XD

    Yoih, itu emang dari Gaspar Noe. Dio udah konfirmasi pas interviu, kan. Bahaha. Nama motornya Cortazar juga dari Julio Cortazar :D

    Hmm kayaknya bukan dari Sir Arthur, Do. Itu diambil dari Arthur Schopenhauer. Terus mungkin juga nama Harahap-nya dari Abdullah Harahap. Hahaha. Duh, sotoy. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku kayaknya bakal baca lagi... kapan-kapan. Oh iya, Cortazar juga.

      Arthur Schopenhauer yang filsuf, ya? Aku kelewat bagian itu mungkin, tapi Harahap juga curiga dari nama Abdullah Harahap karena memang disebut kalau tokoh Gaspar cuma mengenal dua orang bernama belakang itu.

      Hapus
  4. Saya baru saja tamat membaca buku ini, dan bingung sekali sama endingnya. Terutama hubungan antara Gaspar dan--spoiler alert--jantungnya. Care to enlighten?

    BalasHapus
  5. Jadi intinya ini bg "penuh alusi, sarkastis, satire nan meledak-ledak. Dialog-dialog yang terkesan sepele, tapi bernas.".

    Jujur, aku penasaran. Tapi nggak kapasitasku untuk mencari tau jawabannya. :3

    BalasHapus
  6. Ini belakangan lagi rame yang bahas ya. Tapi kayaknya gue takut otaknya gak nyammpe baca beginian. :(

    BalasHapus
  7. Heee, aku sempet tertarik buat nyari novel ini sih pas banyak banget orang yang ngebahas tentang ini. Tapi, kok kayaknya aku masih belum sampai ya ._.

    BalasHapus
  8. suka banget sama buku ini, meski ya, endingnya 'nanggung'. Terus dikasih tahu sama Yoga blog si penulisnya, terus baca-baca. Jiper saya referensi buku, film dan musiknya.

    Btw, buku pertamanya: Kamu. Itu asik juga, dialognya lebih berat tapi ketimbang Gaspar.

    BalasHapus
  9. Sya baru selesai baca novel ini Thun 2018. Mau nulis review, kyaknya bakalan tenggelam deh klo ditulis di blog. Gk ada harapan lagi buat jadi pej wan.

    Tpi beneneran gila sih, endingnya smpe bikin gk nyangka gitu. Dipikiran ku, knapa ya sya malah mikir disetiap kematian di dalam cerita detektif pasti selalu ada rencana atau modus pembunuhan padahal kan blum tentu juga. Dio ini kyak sngaja menggiring persepsi pembaca menuju ke arah itu lewat wawancara nenek2 itu.

    Trus aku juga stuju, klo mau didiskusikan memang msih banyak lubang2 yg msih bisa diperdebatkan kejelasannya seperti si pasien RSJ beserta giginya yg patah. Budi arazon. Kotak hitam, dll.

    Smpe slesai baca emang bener, seperti msih ada yg ngeganjel.

    BalasHapus

Silakan berkomentar. Lihat apa yang akan terjadi!