Konsep Kebahagiaan dari Plato hingga Ki Ageng Suryomentaram

Dalam bukunya yang sangat populer—Man's Search for Meaning, Victor E. Frankl pernah berkata bahwa sejatinya kebahagiaan itu tidak bisa dikejar; kebahagian harus terjadi begitu saja. Sebab pada dasarnya manusia bukan berusaha mencari kebahagian, melainkan mencari alasan untuk menjadi bahagia.

Maka tidak berlebihan, melalui bukunya yang diberi judul Filsafat Kebahagiaan, Fahruddin Faiz—yang lebih dulu dikenal sebagai guru “kajian filsafat”—mencoba menggali konsep kebahagiaan dari empat tokoh bijak, mulai dari Plato, Al-Farabi dan Al-Ghazali, hingga Ki Ageng Suryomentaram. Meskipun kita tahu sebetulnya tak ada rumusan pasti tentang titik kebahagiaan absolut, para filsuf dan tokoh sufi ini mengajak kita mengembara dan mencari pemahaman tentang arti kebahagiaan itu sendiri.

Sebagai seorang filsuf Yunani kuno yang terkenal, Plato jelas telah meninggalkan warisan intelektual yang mendalam tentang sifat manusia dan bagaimana mencapai kebahagiaan. Plato memandang bahwa manusia—sebagai esensialisme—memiliki jiwa yang kompleks, terdiri dari tiga bagian utama: rasional, irasional, dan hasrat. Bagi Plato, jiwa yang baik memiliki kekuatan rasional yang dominan, yang mampu mengendalikan keinginan-keinginan irasional dan hasrat. Ketika jiwa yang baik mencapai keseimbangan dan harmoni, kebahagian itu barulah bisa dicapai.

Sementara konsep Plato tentang kebahagiaan sangat individual, konsep Abu Nashr al-Farabi justru bernuansa sosial. Menurutnya, selain kebahagian level individu, kita juga harus bahagia secara kelompok. Kalau tidak begitu, kebahagian individu tidak akan sempurna. 

Kunci orang bahagia adalah harus pintar, kata al-Farabi. Setelah pintar, kita bisa melakukan amal baik, lalu otomatis kebahagiaan akan datang. Sebab dengan kepandaian, kita bisa tahu mana yang boleh, mana yang tidak boleh, berapa batasnya, dan kapan sesuatu itu sudah berlebihan. Kesamaan pemikiran Plato dan al-Farabi adalah bahwa kebahagiaan dipandang sebagai puncak kebaikan.

Kalau pemikiran al-Farabi lebih filosofis, pemikiran al-Ghazali justru lebih sufistik. Kunci kebahagian, kata tokoh besar Islam Sunni itu, adalah mengenali diri. Menurutnya, kalau kita sendiri tidak paham siapa diri kita dan tidak tahu kita mau apa, kita tidak akan bisa bahagia. Lalu al-Ghazali berpesan, supaya kita bisa bahagia, waspadai dua hal dan penuhi satu hal. Yakni, waspadailah syahwat dan amarah serta carilah bekal ilmu. Sebenarnya ini mirip pemikiran Plato dan al-Farabi, bahwa jalan untuk bahagia adalah ilmu.

Sementara itu, konsep kebahagiaan menurut Ki Ageng Suryomentaram—seorang tokoh besar spiritual Jawa—intinya cuma ini: hidup jangan berlebihan dan jangan kekurangan. Ia merumuskan 6S: sakbutuhe, sakperlune, sakcukupe, sakbenere, sakmesthine, sakpenake.

Suryomentaram juga terkenal dengan ajarannya tentang "kawruh jiwa" yang artinya mengetahui diri sendiri. Pandangan ini seolah-olah melengkapi syarat bahagia dari tokoh-tokoh sebelumnya. Pertama, orang mesti memahami dirinya sendiri secara jujur, barulah berikutnya dia akan mengerti orang lain dan memahami lingkungannya. Orang yang mengerti orang lain, mengerti dirinya sendiri, dan mengerti lingkungan sekitarnya, dia akan bisa bahagia. 

Dengan menghadirkan perspektif filsafat sekaligus merumuskan makna kebahagiaan dari sudut pandang yang berbeda, Fahruddin Faiz jelas ingin mengajak pembacanya untuk melakukan refleksi terhadap kehidupan sesuai nilai-nilai yang dianut. Menariknya, ia menyampaikan gagasan-gagasan dari para filsuf tersebut tanpa mengeklaim kebenarannya untuk setiap individu.

Walau bagaimana pun, diskursus tentang kebahagiaan ini menunjukkan bahwa proses pencarian (alasan) kebahagiaan merupakan perjalanan yang unik bagi setiap individu, dan tidak ada standar yang baku dalam mencapainya.

Orang boleh berbeda dalam banyak hal, tapi bakal bersepakat dalam satu hal: ingin bahagia.

Posting Komentar

0 Komentar