Belajar Literasi Keuangan dari Anjing Bernama Money

Adalah suatu idiosinkratik melihat A Dog Called Money dilabeli dengan kategori "self improvement", sementara isinya berupa kisah fiksi tentang seorang gadis kecil bernama Kira dengan anjingnya yang diberi nama Money—seekor anjing Labrador putih yang pandai berbicara. Namun, akan menjadi masuk akal tatkala kita tahu Bodo Schäfer bukan sekadar pengarang, tetapi juga seorang ahli dan pelatih finansial.

Di dunia di mana orang tua dan lembaga pendidikan sering kali lalai mengajarkan literasi keuangan, buku ini bisa jadi panduan yang sangat pas untuk mulai mengenalkan salah satu aktivitas orang dewasa yang bagi kalangan anak-anak sering kali tak terjamah, yaitu perihal menghasilkan uang.

Melalui karakter Money, anjing yang hanya berbicara kepada Kira—pengasuhnya, pembaca akan dikenalkan tentang pemahaman dasar mengenai uang, bagaimana cara mendapatkannya, mengaturnya sesuai skala prioritas, hingga menginvestasikannya dengan pendekatan yang sederhana.

Alasan kenapa Bodo Schäfer memilih tokoh anjing mungkin sebagai afirmasi bahwa anjing ialah tipikal hewan yang mudah dipelihara, bahkan lebih gampang dilatih ketimbang kucing. Anjing bisa diajari trik, perilaku, dan diberi perintah. Bedanya, di buku ini manusialah yang diajari oleh anjing. Hal ini dipertegas lagi saat Money dengan bijak berkata, “Bangsa anjing tidak berkutat pada teori, sebab mereka hewan yang pragmatis.”

Meski sangat jelas kalau buku ini ditulis untuk mengenalkan literasi keuangan, tapi ia dinarasikan tanpa maksud menggurui. Beberapa istilah finansial pun disampaikan dengan subtil dan implisit. Contohnya, dalam kalimat ini: “Sederhana saja. Ketika kau memutuskan melakukan sesuatu, lakukanlah dalam waktu selambat-lambatnya 72 jam. Jika tidak, kau barangkali takkan pernah melakukannya.”

Bagi sebagian orang yang melek finansial, mungkin akan langsung mafhum kalau penulis berniat mengenalkan "The Rule of 72" atau Aturan 72—konsep menunggu 72 jam sebelum mengambil keputusan investasi atau sering disebut "sleeping on it". Metode yang memungkinkan kita memperoleh perspektif dan menjauhkan diri dari dorongan emosional awal saat ingin memulai investasi.

Atau saat penulis ingin mengenalkan "50/30/20 Budgeting Rule"—dalam buku ini disubstitusi menjadi 50/40/10 karena lebih sesuai dengan karakteristik anak-anak yang belum banyak pengeluaran. Bagi yang sudah familier, aturan 50/30/20 adalah metode penganggaran bulanan untuk membagi (persentase) alokasi dana kita ke dalam tiga kategori, yaitu kebutuhan, keinginan, dan masa depan atau utang.

Disampaikan juga alegori "angsa bertelur emas" yang jadi manifestasi dari konsep passive income untuk menjelaskan bagaimana cara uang bekerja untuk kita, dan bukan sebaliknya. Begitu pun saat penulis ingin menerangkan apa itu saham, bursa efek, dana darurat, hingga reksa dana dengan bahasa yang tak terlalu teoretis alias mudah untuk dipraktikkan.

Mengutip opini Profesor Jürgen Zimmer, seorang psikolog anak terkemuka di Eropa, betul bahwasanya belajar mengelola uang sejak dini memang diperlukan, agar kita tumbuh dan kebal terhadap mentalitas peminta-minta dan pantang mengambil dari orang lain. Lagi pula, menghasilkan uang dari usaha sendiri niscaya mampu memberdayakan kita agar terbebas dari praktik konsumerisme terus-menerus.

Uang tidak bisa mengubah kebiasaan. Uang tidak membahagiakan ataupun menyusahkan hati kita. Uang sepenuhnya bersifat netral. Uang tidak bernilai baik, tidak juga bernilai buruk. Barulah ketika menjadi milik seseorang, uang itu bernilai positif atau negatif, bergantung pada perilaku orang tersebut.

Posting Komentar

0 Komentar