Membaca Saja Kita Sulit

Bagi pembaca buku yang giat, kecepatan mereka membeli buku terkadang tidak selalu berbanding lurus dengan kecepatan mereka saat membacanya. Namun, dalam marcapada pencinta buku pula hal semacam ini ialah dosa yang diperbolehkan. Sebab, tak ada yang salah dengan menumpuk buku bacaan untuk dibaca kemudian hari meski entah kapan.

Menurut saya pribadi, tantangan besar para pembaca—secara literal membaca teks bacaan—justru terletak pada cara mengolah informasi yang didapat dari proses membaca itu sendiri. Apabila merujuk KBBI, definisi membaca yaitu melihat serta memahami isi apa yang tertulis (dengan melisankan atau hanya dalam hati).


Bukan fenomena baru, kita pasti sering melihat warganet yang latah berkomentar dan menanyakan suatu hal yang sebenarnya sudah dijelaskan pada sebuah posting foto dan video serta takarir yang menyertainya. Alih-alih memantik gagasan dan menciptakan ruang diskusi, menanyakan suatu hal yang sudah jelas melalui kolom komentar media sosial justru menghadirkan redundansi, dan pada momen tertentu dapat memancing emosi.

Kebiasaan mengomentari segala hal tanpa argumentasi yang jelas mungkin senada dengan yang dulu sering kita sebut dengan istilah asbun—asal bunyi. Kelatahan jari kita dalam mengetik komentar asbun di media sosial, dalam revolusi digital tak jauh dari kecenderungan sifat manusia yang haus akan informasi dan butuh sekali validasi.

Masalahnya, kelimpahan informasi tidak membuat seseorang menjadi tenang. Ada jurang yang makin lebar antara apa yang kita mengerti dan apa yang kita kira harus dimengerti. Dari kesenjangan inilah muncul suatu perasaan khas yang disebut Rafael Capurro dalam bukunya Homo Digitalis (2017) sebagai "informationsangst" yang berarti kecemasan informasi.

Menurut filsafat Heidegger, kecemasan informasi ini dapat dijelaskan dengan konsep Neugier (keingintahuan), yaitu kecenderungan untuk mengetahui sesuatu agar tidak tertinggal dari yang lain. Jadi, munculnya perasaan ini bukan didorong oleh keinginan untuk mencari kebenaran, melainkan suatu gairah primordial untuk sekadar ikut tren saja. Dewasa ini kita lebih mengenalnya dengan istilah Fear Of Missing Out (FOMO).

Kelatahan berkomentar yang juga selaras dengan kesulitan kita mengolah informasi inilah yang saya curigai menjadi salah satu faktor penyumbang mengapa skor PISA Indonesia pada tahun 2022 masih berada di peringkat sepuluh terbawah, terutama pada substansi pembelajaran inti di bidang membaca. Hasil penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 yang diumumkan pada 5 Desember 2023 lalu, seolah-olah mempertegas kembali bahwa masalah fundamental kita masih sama.

Dengan perolehan skor 359 poin untuk kemampuan membaca, Indonesia harus cukup puas masuk ke level 1a. Sayangnya, pembaca di level ini belum bisa memahami teks panjang, yang informasinya bersifat implisit dan abstrak. Dari hasil analisis PISA terakhir ini, artinya anak-anak di Indonesia masih kerap kesulitan untuk membuat kesimpulan sederhana dari sebuah teks bacaan.

Tanpa bermaksud menyudutkan anak dan remaja yang saat ini didominasi oleh generasi Z, faktanya pembaca muda di Indonesia hanya mampu memahami teks yang gamblang saja. Akibatnya, ketika dihadapkan pada teks bacaan yang perlu pemahaman ekstra, mereka mulai kesulitan untuk mencernanya.

Sejujurnya saya masih ragu, apakah ini termasuk dampak dari kemalasan kita membaca atau efek buruk dari derasnya arus informasi yang kita peroleh di media sosial. Namun yang jelas, selama kita masih menemui adanya masyarakat yang suka menanyakan suatu informasi yang jawabannya sudah terpampang di depan mata, artinya pekerjaan rumah kita masih banyak.

Rasa-rasanya kita juga harus sepakat bahwa membaca itu penting, tetapi jauh lebih penting kemampuan kita mencerna informasi dari apa yang kita baca.

Posting Komentar

1 Komentar

  1. klo menurut teorinya

    Bertram Gross, "Kelebihan informasi terjadi ketika jumlah masukan ke suatu sistem melebihi kapasitas pemrosesannya. Pengambil keputusan memiliki kapasitas pemrosesan kognitif yang cukup terbatas. Akibatnya, ketika terjadi kelebihan informasi, kemungkinan besar akan terjadi penurunan kualitas keputusan."

    Memang tidak bisa dipungkiri Big Data yang ada saat ini juga menjadi salah satu faktor yang membuat generasi jaman sekarang menjadi malas untuk membaca, karena semakin banyak informasi yang beredar maka nilai dari informasi itu juga akan semakin turun atau semakin tidak dianggap berharga.

    BalasHapus

Silakan berkomentar. Lihat apa yang akan terjadi!