Potret Kesetaraan Gender dalam "Pesantren"

Sama halnya film cerita, genre film dokumenter mempunyai daya pikatnya sendiri. Di tangan sineas yang tepat, film dokumenter seharusnya sudah tak dianggap sebagai tontonan monoton atau membosankan. Dengan berbagai isu penting yang dibahas, ia dapat menjelma sebagai pengingat. Relevansi dan keberanian mengangkat isu sensitif tentu menjadi poin penting kenapa film jenis ini patut diperhitungkan.

Akses ke film dokumenter mungkin tak semudah mencari genre film lainnya. Terutama di Indonesia, hanya segelintir platform yang mau menayangkan. Oleh karena itu, saya cukup senang ketika melihat direktori Bioskop Online yang memuat satu judul dokumenter yang telah lama ditunggu, yaitu “Pesantren” karya Shalahuddin Siregar.


Film yang cukup sering dibicarakan sejak tayang perdana pada perhelatan International Documentary Film Festival Amsterdam (IDFA) 2019 ini fokus menyoroti kehidupan para santri di Pondok Pesantren (Ponpes) Kebon Jambu Al-Islamy yang berlokasi di Cirebon, Jawa Barat.

Di Ponpes Kebon Jambu, keseharian para santri yang relatif masih muda hampir tak ada bedanya dengan kehidupan teman sebaya mereka di luar pesantren. Ruang bermain mereka tak dibatasi. Mereka tetap aktif belajar meski mengantuk saat hafalan. Mereka tetap bisa menelepon orang tua di antara setumpuk kitab yang harus dibaca. Bisa dibilang, mereka hidup dengan sewajarnya.

Dalam menjalankan pranata pendidikan tradisional seperti ponpes, sudah seyogyanya guru-guru menanamkan nilai kebaikan kepada para santri. Dalam Pesantren, kita bisa lihat para guru mengajarkan Islam sebagai agama yang menuntun umatnya agar berguna bagi sesama. Meski menuntut afeksi, guru-guru ini justru melarang sikap fanatisme terhadap agama yang ujung-ujungnya hanya membatasi kebermanfaatan.

Dengan narasi yang pelan, film ini menangkap banyak percakapan menarik antara guru—sebutlah ustaz—dengan para santrinya. Misalnya, menyangkut fenomena masyarakat yang saat ini begitu gampangnya mengecap orang lain kafir. “Sifat ar-rahman (pengasih) itu lintas kepercayaan dan lintas agama,” kata seorang ustaz, “sehingga sudah sepatutnya manusia saling mengasihi.”

Kehidupan pesantren ibaratnya mikrokosmos sosial. Selayaknya ponpes yang menaungi sekitar 1.800 orang santri, sudah barang tentu terdapat aneka ragam persoalan di sana. Misalkan saja santri tingkat satu, tentu ia memiliki problem yang berbeda dengan santri tingkat empat.

Ada bagian menarik ketika salah seorang santri tingkat satu, suatu waktu mempertanyakan hal apa yang harus ditekankan kepada mereka: pendidikan atau kebetahannya dulu? Sebab tak jarang kita mendengar ada santri mukim—yang menetap di dalam ponpes—menelepon ke orang tuanya, lalu merengek minta dijemput karena tak betah menghadapi pola pendidikan ala pesantren.

Secara subtil, film ini pun menyindir perihal bergesernya paradigma orang tua pada era kiwari. Jika dulu para orang tua memondokkan anaknya untuk mendalami ilmu agama—artinya sebelum itu mereka sudah punya bekal, berbeda dengan yang terjadi sekarang. Sering kali ponpes hanya dijadikan pelarian bagi orang tua yang ‘gagal’ mengajarkan agama kepada anaknya.

Pada akhirnya, hal ini berkaitan dengan gejala sosial yang terjadi di masyarakat, mengenai minimnya santri jebolan pesantren yang beriktikad untuk mentransfer ilmunya setelah lulus. Alhasil, terjadilah krisis guru ngaji di kampung-kampung maupun pedesaan.

Selain hal di atas, ada satu nilai kuat yang juga dipupuk dalam Ponpes Kebon Jambu, yaitu tentang kesetaraan gender. Para alim ulama dan ustaz di sana seakan-akan sepakat untuk melawan stereotipe dari konsep atau ajaran yang menyatakan “laki-laki adalah pemimpin”, sebab istilah itu tak berarti sama dengan definisi bahwa laki-laki harus jadi pemimpin.

Secara teoretis, sudah banyak penelitian yang membuktikan bahwa salah satu prinsip pokok ajaran Islam adalah prinsip egalitarian, yakni persamaan hak antar manusia—baik itu laki-laki atau perempuan, maupun antar suku, bangsa, dan keturunan. Maka tak sepatutnya kaum perempuan dimarginalisasi dari peran-peran politik di lingkungan masyarakat.

Dalam konteks khalifatullah fil al-Ardh—yang secara terminologi berarti “kedudukan kepemimpinan”—pun telah mempertegas bahwa semua manusia, baik laki-laki maupun perempuan, telah diamanatkan menjadi pemimpin. Meskipun dalam penerapannya, dimensi maskulin sering kali membayang-bayangi masalah misogini, akan tetapi spirit kesetaraan gender terus diajarkan dalam tatanan implementasi di Ponpes Kebon Jambu.

Fakta bahwa ponpes ini diasuh dan dipimpin oleh Nyai Masriyah Amva, seorang perempuan yang berdikari, seolah-olah memperkuat semangat pluralisme maupun feminisme yang hadir di sana. Belum lagi, fakta kalau ponpes ini pernah menjadi tuan rumah penyelenggaraan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) tahun 2017 yang saat itu baru pertama kali digelar.

Hasbullah dalam buku Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, mengatakan bahwa pesantren yang merupakan “Bapak” dari pendidikan Islam di Indonesia, didirikan karena adanya tuntutan dan kebutuhan zaman. Bahkan bila dirunut kembali, pesantren lahir atas kesadaran kewajiban dakwah islamiah, yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam, sekaligus mencetak kader-kader ulama atau dai.

Meskipun masih memegang nilai-nilai tradisional, dalam era modernisasi tentu pondok pesantren telah melakukan berbagai upaya untuk menghindari para santri yang hanya menguasai ilmu agama secara parsial, tanpa didukung basis ilmu pengetahuan umum. Bagian kecil ini yang mungkin luput disorot oleh Shalahuddin.

Sang sutradara memang sudah menyuguhkan gambaran keseharian para santri yang luwes berkesenian. Misalnya, santri laki-laki mengikuti kompetisi stand-up comedy dan santri perempuan mengikuti kompetisi musik angklung. Namun, itu hanya sebatas aktivitas temporer saja, bukan rutinitas harian mereka. Rasa-rasanya penonton awam seperti saya pasti ingin melihat konten yang lebih dalam.

Terlepas dari itu, visi yang ingin diangkat oleh Shalahuddin Siregar lewat film ini sudah sangat jelas. Ia ingin membuang jauh pemikiran ahistoris dan stigma buruk masyarakat dalam memandang institusi pesantren. Ia seakan ingin teriak bahwa tak ada paham radikal di sini, tak ada pula ajaran terorisme yang diajarkan kepada para santri.

Pada tahun-tahun mendatang, tak mengherankan apabila Pesantren punya tendensi kuat menjadi top of mind ketika kita ingin merekomendasikan sebuah film berlatar belakang pesantren. Setelahnya, mungkin bisa disusul Perempuan Berkalung Sorban, 3 Doa 3 Cinta, atau Sang Kiai.

Posting Komentar

0 Komentar