Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sebagaimana eufemisme dari istilah yang sering kita sebut penjara, sejatinya merupakan mikrokosmos sosial yang sulit dimengerti oleh siapa pun—termasuk mereka yang terpaksa hidup di dalamnya.
Sebuah film yang memilih lapas sebagai latar ceritanya, acapkali tak lepas dari bias kepentingan. Entah itu latah menjadikannya stereotipe sebagai tempat berkumpulnya para kriminalis, atau film penting yang benar-benar ingin menyampaikan kritik atas efektivitas berlakunya sistem pemasyarakatan.
Di Indonesia, mungkin belum banyak film yang menjadikan lapas jadi poros utama ceritanya. Namun, tiga judul yang akan disebut dalam daftar ini, setidaknya pantas diingat kembali ketika kita ingin membicarakan sinema yang lahir dari dalam penjara.
MIRACLE IN CELL NO. 7 (2022)
Mengisahkan Dodo Rozak, seorang ayah dengan keterbelakangan mental yang dituduh melakukan tindak kejahatan sehingga harus dibina di dalam lapas dan terpaksa meninggalkan anak perempuan semata wayangnya yang masih SD.
Saat tiba di lapas, Dodo ditempatkan di dalam kamar sel nomor 7 bersama lima orang penghuni lainnya. Kehadiran para napi lain penghuni kamar yang tampak seperti figuran, ternyata berkontribusi penting dalam menggerakkan plot cerita.
Film ini merupakan adaptasi dari film Korea Selatan yang digarap ulang oleh sutradara Hanung Bramantyo. Melalui kisah Dodo, dkk., penonton diajak menertawakan tingkah lucu para napi dalam menjalani hari-hari mereka di lapas.
Di sisi lain, penonton juga disuguhkan beberapa adegan emosional yang mengundang cucuran air mata. Tak sekadar menghibur, film ini berusaha menyampaikan pesan kritik terhadap sistem hukum yang cenderung tajam ke bawah, sekaligus membuka ruang diskusi tentang pentingnya tahap pra-adjudikasi hingga post-adjudikasi dalam proses pidana yang adil.
INVISIBLE HOPES (2021)
Film yang disutradarai Lamtiar Simorangkir ini digadang-gadang menjadi film dokumenter Indonesia pertama yang menyoroti perjalanan para ibu hamil dan anak-anak yang lahir di balik jeruji penjara atau lapas/rutan.
Film ini mengajak penonton menyelami kondisi para perempuan hamil yang harus mendekam di dalam bui. Sebagian dari mereka telah berpisah dari suami, hamil ketika menjalani proses penahanan, kemudian melahirkan, lalu mengasuh bayi dalam ruang gerak yang terbatas.
Tanpa tendensi untuk memberikan ponten negatif kepada institusi tertentu, rasanya film ini telah berhasil menyampaikan sindirian halus kepada para pemangku kepentingan. Memang sudah saatnya dibuat regulasi yang jelas tentang pemenuhan hak kaum perempuan, meskipun sedang menjalani masa pidana.
Setidaknya aturan yang dapat memastikan bahwa ibu hamil dan (calon) anaknya di lapas/rutan memiliki akses terhadap makanan bergizi, pelayanan kesehatan, dan kondisi hidup yang layak. Sebab, anak-anak yang baru lahir pun layak memperoleh haknya, termasuk hak kebebasan.
DAPUR NAPI (2022)
Serial televisi yang berisi 8 episode ini berkisah tentang sekelompok perempuan mantan napi dengan karakter yang sangat unik dan berbeda; Laila yang merasa tidak pantas untuk bahagia, Ayu yang tidak percaya laki-laki, Nur dengan tingkah laku seperti seorang preman, dan Namira yang sering kali memendam perasaan.
Lewat film ini, penonton diajak menyelami kisah para mantan napi yang hendak menata kembali kehidupan mereka, berusaha ‘pulang’ ke masyarakat, dengan berbagai tantangan dan penolakan yang harus dihadapi.
Laila, Ayu, dan Nur, yang bertemu saat melalui masa binaan di lapas, memutuskan untuk membuka sebuah usaha rumah makan yang diberi nama Dapur Napi, setelah mereka bebas.
Sebagai mantan napi, hidup mereka tidaklah mulus karena harus berhadapan dengan banyak stigma negatif, penolakan dari berbagai pihak, termasuk masyarakat sekitar.
Film ini benar-benar merekam fenomena yang terjadi hingga saat ini. Tentang pandangan negatif kepada mantan napi yang kerap membuat mereka merasa sulit untuk berasimilasi. Keterbatasan opsi pekerjaan sekembalinya mereka dari lapas pun menjadi masalah yang belum tuntas.
0 Komentar
Silakan berkomentar. Lihat apa yang akan terjadi!