[Review] Yang Lebih Bijak daripada Peri — Rizqi Turama

Ternyata tak perlu menjadi aktivis seperti Luis Sepúlveda untuk bisa menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan hidup lewat karangan tulisan. Meskipun fiksi tak bisa mengubah realitas, tapi ia bisa memberi cerminan pada aspek yang sangat penting. Mungkin itulah yang menjadi gagasan Rizqi Turama saat menerbitkan kumpulan cerpen Yang Lebih Bijak daripada Peri.


Judul : Yang Lebih Bijak daripada Peri
Penulis : Rizqi Turama
Penerbit : Diva Press
Tahun terbit : 2022
Cetakan : Pertama
Tebal : 156 hlm
ISBN : 978-623-293-630-0


“Ayahmu telah jadi peri pohon tergagah, menjadi pemimpin dari peri-peri pohon yang lain.”
Wajah-wajah itu tersenyum dan membuat Marti kebingungan.
“Tapi…”
“Kami juga baru tahu bahwa hal ini bisa terjadi. Biasanya keluarga terdekat saja yang didatangi mimpi penjelmaan. Mungkin karena alam tahu bahwa kau akan merendah dan akan berbohong, mungkin dengan mengatakan bahwa ia hanyalah kunang-kunang. Maka, ia juga mendatangi kami dan memberi tahu mimpi yang sebenarnya.”

Senyum-senyum semakin mengembang. Marti baru memperhatikan tamu-tamu yang membawa begitu banyak bibit pohon untuk ditanam.

Marti tahu bahwa berkeras menyatakan yang sejujurnya hanya akan memperpanjang kerumitan, baik di hatinya maupun di mata warga. Sekuat tenaga, Marti menyeka air mata yang diterjemahkan warga sebagai air mata haru. Seketika terlintas di benaknya bahwa pohon-pohon pemberian warga akan lebih baik jika ditanam ulang di hutan larangan yang telah menggundul akibat ulah ayahnya. Marti tahu bahwa mungkin inilah waktu yang paling tepat untuk menjadi orang yang lebih bijak daripada peri.

Kumpulan cerpen ini merangkum banyak kisah tentang gambaran budaya, modernitas, etika, satire pada penguasa, serta pesan yang paling menggaung yaitu tentang alam dan hubungan antar penghuninya.

Dalam empat judul pembuka, kita langsung disuguhi kisah tentang keluarga dengan hijaunya nuansa lingkungan rumah. Ada cerita tentang pohon durian ayah, pohon kelengkeng ibu, tanaman lidah mertua yang diwariskan ke anak, hingga bagaimana pohon rambutan menyisakan banyak kenangan.

Cerpen yang dijadikan judul buku ini adalah salah satu cerpen favoritku, sebuah kritik terhadap pembalakan liar yang dinarasikan dengan magis melalui kisah para peri. Cerpen lain yang berjudul "Mek Mencoba Menolak Memijit" juga tak kalah bagus, sebab secara lugas menyampaikan kritik terhadap kapitalisme yang dirasakan langsung oleh warga desa atas maraknya pembangunan minimarket waralaba.

Meskipun sebetulnya banyak repetisi tema dan struktur bercerita dalam kumcer ini, tetapi usaha penulis untuk mengajak pembaca membangun kembali martabat ekologis sangat pantas diapresiasi.

Posting Komentar

0 Komentar