Xemut adalah generasi paling mutakhir dari jenis
serangga paling populer yang dulu dikenal dengan nama semut. Sebetulnya aku
tidak enak mengatakannya, tapi jujur saja nenek moyangku adalah generasi yang
paling payah. Ribuan tahun lalu, semut dikenal sebagai serangga sosial yang
hidup di dalam sebuah koloni. Sistem hierarkinya pun kompleks, sebab dalam
sebuah koloni biasanya berisikan ribuan hingga jutaan semut. Hidup bergerombol
seperti itu menurutku sangat tidak mandiri.
Banyak yang iri dengan hidupku karena xemut adalah
hewan paling abadi. Kudengar-dengar, dulu semut pekerja dapat hidup hingga satu
sampai tiga tahun, sementara ratu semut dapat hidup selama beberapa dekade. Di
sisi lain, malah ada semut pejantan yang menghabiskan hidupnya hanya untuk
makan dan mengawini ratu semut, lalu mati. Bahkan tipe semut rendahan itu
sampai masuk 'Top 10 hewan dengan usia paling singkat'. Memalukan
sekali kalau diingat.
Generasiku pertama kali lahir pada tanggal 17 Agustus
1945. Tubuh xemut sedikit lebih besar daripada semut, dengan warna yang
kemerahan dan bercorak bintik putih meski agak samar. Ciri yang lebih spesifik
bahwa kami hanya memilik satu antena di atas kepala. Selain berfungsi untuk
mendeteksi rangsangan kimiawi dan berkomunikasi dengan semut lain, antena ini
juga dapat menjangkau pandangan lebih luas bahkan setara seribu unit CCTV.
Itulah yang membuatku mengenal dengan baik tempat ini.
Aku tiba di sini enam bulan yang lalu. Saat itu, tanpa
terencana aku iseng bertengger pada sepatu seorang perempuan dewasa yang datang
berkunjung kemari. Meskipun aku sudah hidup begitu lama, tapi jujur saja aku
tak pernah berpikir untuk mengunjungi tempat ini. Penjara jelas merupakan
tempat terakhir yang ingin kudatangi.
Setelah memasuki ruang pendaftaran kunjungan, aku
sempat kaget saat perempuan yang aku tumpangi itu tiba-tiba melepas sepatunya
dan meletakkannya di sebuah rak. Aku terhempas sekitar beberapa senti dan
nyaris terhimpit di sudut tembok ruangan. Kulihat perempuan itu mengganti alas
kakinya dengan sandal khusus yang telah disediakan oleh petugas layanan
kunjungan. Saat itulah aku baru sadar kalau itu bagian dari prosedur kunjungan,
gunanya untuk mengantisipasi agar pengunjung tidak bisa menyelundupkan
benda-benda terlarang yang dapat ditaruh di bawah alas kaki milik pribadi.
Sebenarnya ada banyak hal yang sudah kudengar tentang
penjara. Tindak kriminal, kejahatan, narapidana, kurungan, sel, jeruji, apa pun
yang pasti jarang berkonotasi positif. Namun, berbeda dengan semut yang hobinya
berkerumun dan bertendensi kuat menyebarkan gosip pada koloninya, tipe xemut
sepertiku tentunya lebih suka melakukan observasi sendiri.
Aku banyak belajar dan merekam hal-hal yang baru
kudengar. Dari seorang petugas, aku mengetahui bahwa sebutan penjara asal
mulanya dari penjera—tempat untuk membuat orang jera. Tentang penjara yang
disebut hotel prodeo, yaitu karena fasilitas di penjara kadang disamakan dengan
hotel, sedangkan prodeo berarti gratis. Belakangan aku juga baru tahu kalau
istilah kepenjaraan di Indonesia sudah diganti menjadi pemasyarakatan sejak 27
April 1964. Sebutan penjara pun sudah diperhalus
menjadi Lembaga Pemasyarakatan atau LP/Lapas.
Banyak peristiwa menarik yang sudah terjadi di tempat
ini. Dari seorang narapidana senior yang hobi mengobrol dengan rekan
sekamarnya, aku jadi tahu kalau sejarah sikat gigi pun tercipta di penjara.
Katanya, ide pembuatan sikat gigi pertama kali dibuat oleh seorang pria Inggris
bernama William Addis saat ia berada di penjara sekitar tahun 1780. Ketika itu
si Addis mencoba membersihkan giginya dengan tulang dari sisa makan malamnya,
lalu ia kombinasikan dengan bulu sikat yang dipinjam dari penjaga tahanan.
Cerita itu pun ditimpali oleh penghuni kamar yang
lain, lalu obrolan ringan itu mendadak menjadi ruang diskusi sejarah. Napi yang
satu ini tadinya masih setia rebahan di atas matras sambil sesekali menggaruk
bekas tindik di kupingnya yang sangat mencolok, tapi ia bangkit karena merasa
perlu berpartisipasi dalam forum. Namanya Ibenk, tahanan kasus maling.
“Kalian tahu asal mula tato?” tanya Ibenk penuh
antusias. Pertanyaan itu mendapat berbagai macam reaksi dan beragam jawaban
yang sebagian besar tidak rasional. Rasanya aku ingin merangkak dan melakukan
tindakan kekerasan terutama kepada salah satu dari mereka yang baru saja
menimpali, “Mungkin dulunya untuk menutupi bekas kurap.” Mereka kompak tertawa,
padahal menurutku itu lelucon yang tidak lucu. Maklum saja, selera humor xemut
memang tinggi.
Kemudian Ibenk becerita kalau dulunya tato itu pertama
kali dibuat untuk menandai setiap tahanan penjara. Sipir akan memberikan tanda
di badan setiap tahanan yang baru masuk ke dalam penjara, sebagai bukti mereka
pernah terlibat kasus kejahatan. Itulah sebabnya kenapa pernah muncul stigma
kalau tato merupakan simbol kriminal, jauh sebelum tren tato sebagai bagian
seni dan kultur pop seperti sekarang.
Untuk cerita yang barusan itu, sebetulnya aku belum
sempat melakukan validasi atas kebenarannya, jadi boleh saja dianggap sebagai
legenda urban. Kurasa keluarga besar xemut pun kurang tertarik dengan cerita
semacam itu.
Beberapa hari lagi, generasi xemut akan mengadakan
perayaan tahunan, tapi aku masih terjebak di tempat asing ini. Aku jadi mulai
khawatir sebab entah kenapa aku mulai nyaman berada di sini. Alih-alih menjadi
kawasan penebusan dosa, aku merasa tempat yang dikelilingi oleh tembok beton
tinggi ini lebih menyerupai sekolah atau malah pesantren. Kamar-kamar hunian
sudah serupa asrama. Beberapa waktu lalu saat diadakan pelatihan di bengkel
kerja yang diikuti oleh para tahanan, kudengar Kepala Lapas menyampaikan kalau
tujuan dari konsep pemasyarakatan itu bukan untuk menghukum, tetapi membina.
Ini juga yang jadi alasan kenapa narapidana sekarang lebih sering disebut
sebagai warga binaan pemasyarakatan.
Saat ini, lapas sudah berfungsi sebagai lembaga
katarsis. Sebuah mikrokosmos sosial yang masih memelihara hak-hak manusia
sebagai warga binaan. Mereka yang berada di dalam lapas hanya dianggap sebagai
kumpulan orang yang tersesat, yang nantinya akan dibimbing untuk kembali ke
jalan yang sesuai tatanan hukum.
Plak! Tiba-tiba
aku merasakan kepalaku sedang dikeplak. Antena yang tadinya mencuat di kepalaku
sontak menciut dan menyusut. Kulitku yang tadinya berwarna kemerahan secara
perlahan berubah menjadi kecokelatan seperti kulit manusia. Kemudian mataku
mengedip dengan pelan.
“Sudah sadar belum?” Suara itu rasanya cukup familier.
Itu suara Ibenk, teman sekamarku sejak aku ditempatkan di sini enam bulan yang
lalu.
Bang Addis, panggilan akrab kami kepada kepala kamar
yang lebih senior itu, mengeplak kepalaku sekali lagi. Memastikan aku sudah
sadar dari lamunan panjang. “Aku perhatikan kau makin hari jadi makin sering
bengong, ya?” sosornya.
“Ya maklum, Bang, kan sebentar lagi bakal dapat remisi
umum di hari kemerdekaan.”
Palembang,
12 Agustus 2020
0 Komentar
Silakan berkomentar. Lihat apa yang akan terjadi!