Siang kemarin, saat aku sedang mengendarai sepeda motor dan melewati traffic light yang kebetulan warnanya sedang hijau, tahu-tahu ponsel di saku celana mengalami gejala bergetar. Singkat cerita, aku langsung parkir sembarangan di tepi jalan, lalu mendapati nama bapak di layar ponsel.
"Halo, Pak?"
"Do, barusan ada kecelakaan lagi di depan rumah. Korbannya dua orang anak SMA yang lagi boncengan, terus tabrakan dengan mobil truk."
Sampai sambungan telepon ditutup, aku belum menemukan korelasi antara aku dengan insiden kecelakaan tersebut sampai-sampai bapak merasa perlu melapor kepada anaknya yang sudah jarang mudik ini. Apalagi, kabar tersebut nggak lebih menarik daripada drama pelik kalangan selebriti selevel Krisdayanti-Aurel-Azriel.
Bapak sekarang tinggal di rumah kami di kampung, yang jaraknya sekitar tiga jam perjalanan darat dari Palembang, tempat aku tinggal dua tahun terakhir sampai sekarang. Sebenarnya, aku sudah belajar untuk sensitif dengan bapak semenjak mamak meninggal. Jadi, tiba-tiba saja aku dapat sebuah konklusi bahwa: 1) bapak kangen; dan 2) bapak mau aku jaga keselamatan di jalan.
Selama dua puluh tiga tahun hidup dunia yang fana ini, kalau dipikir-pikir mungkin akulah anak bapak-mamak yang paling jarang merepotkan. Sebagai anak bungsu, aku nggak pernah merengek minta dibelikan robot-robotan nggak penting, nggak pernah bertandak-tandak minta duit demi biaya rental PS berjam-jam, nggak pernah dihukum di sekolah yang berpotensi mendapat surat panggilan ortu, nggak pernah dipaksa belajar di rumah karena aku rela belajar bahkan sebelum disuruh. Enam tahun sekolah di SD dan langganan dapat ranking bagus, jadi salah satu lulusan terbaik waktu tamat SMP, dan ketika SMA pernah dengan bangganya bilang, "Kalau bapak dan mamak mau maju ke depan kelas karena anaknya dapat nilai tertinggi, besok tolong jadi wali untuk pengambilan raporku." Masuk universitas negeri lewat jalur tanpa tes (walau akhirnya terpaksa stop out karena alasan setelah ini), diterima sebagai pegawai di instansi pemerintah tanpa harus menyogok dan minta bantuan orang dalam—hal terakhir yang bikin bapak sujud syukur dan menangis sedu sedan lewat sambungan telepon.
Sudah boleh sombong?
"Do, motornya sudah diganti oli?" ketika aku baru bayar cicilan pertama motor baruku.
"Do, dapat royalti berapa?" ketika bapak tahu kalau anaknya sudah menerbitkan buku.
"Do, handphone baru lagi?" ketika bapak dapat aduan dari kakak kalau adiknya baru saja dapat handphone baru dari hasil ngeblog.
"Do, sudah survei lokasi rumah?" ketika aku ada rencana—atau berkhayal—beli rumah.
"Do, sudah punya pacar baru?" ketika bapak menyindir aku yang konon berniat PDKT dengan mahasisiwi calon dokter, tapi menyerah duluan. Pantaslah susah dapat pacar.
"Do, kalau mudik, jangan lupa beliin gagang cincin batu akik!"
Sejak tinggal jauh dari rumah, aku jadi sering merenung. Setiap ditelepon, bapak nggak pernah menuntut apa-apa, kecuali satu hal yang aku sering lalai sampai sekarang.
"Jangan lupa ibadah ya, Do."
In the end, we just aim to improve, and be better than who we were before.
![]() |
Bapak pura-pura candid |
[ditulis untuk tantangan Pojok WB Idol]