Selasa, 31 Desember 2013

Wooooogh! Nggak kerasa udah sampai di penghujung tahun 2013. Beneran nggak kerasa. Time flies. Perasaan baru kemarin gugatan pembatalan nikah Asmirandah, eh sekarang 2013 udah mau habis aja. Selain nggak kerasa, kalimat sebelum ini juga nggak ada korelasinya. 

Setelah di tahun 2012 banyak sekali berkah yang aku dapat, mulai dari kebahagiaan kecil seperti bangkitnya hasrat nulis yang akhirnya menghasilkan beberapa tulisan pendek dibukukan oleh penerbit mayor, sampai hal luar biasa yang bikin aku bisa membiayai hidup sendiri seperti sekarang—karena lulus tes CPNS Kemenkumham. Pengumuman kelulusannya bulan Oktober 2012, tapi mulai kerjanya bulan April 2013. Dan, tahun ini resmi dengan status bukan mahasiswa Unsri lagi. Satu kebahagiaan dikorbankan demi tuntutan hidup lebih layak di masa depan. Di saat teman kuliah sedang berdarah-darah menyusun tugas akhir dan skripsi, aku malah leyeh-leyeh makan gaji sendiri. Hehehe. *dirajam anak-anak Sinus A*
  
Jadi mau cerita dikit deh... Beberapa minggu yang lalu, aku iseng pasang avatar twitter nih, pakai foto IDCard (tanda pengenal) tempat aku kerja, dengan maksud supaya dunia tahu bahwa anak ingusan bernama Rido ini walaupun kurang tampan dan bau matahari, bisa jadi pegawai negeri juga. Terus, ada salah satu follower yang mention kayak begini:



Namanya Ayu, tinggal di Bali. Rupanya tahun ini dia ikut tes seleksi CPNS. Soal kenapa dia bisa follow aku, itu biarlah menjadi misteri.

Tanggal 24 Desember 2013, pengumuman CPNS serentak untuk semua wilayah di Indonesia. Alhamdulillah, dua kerabat dekat lulus. Teman waktu SMA dan tetangga sebelah rumah yang juga teman main dari kecil. Keesokan harinya, pas bangun tidur, hape bunyi karena ada notifikasi masuk dari twitter. Cewek yang konon namanya Ayu itu mention lagi, bunyinya kayak begini:


Ya Tuhaaaan, aku speechless waktu bacanya. Kemarin pas lulus tes, aku kayaknya nggak nangis haru, tapi pas baca mention itu malah aku nyaris mewek. Itu kado terindahnya di Hari Natal, katanya. Selamat ya, Ayu! :')

Jadi, kalau dibikin kaleidoskop tahun 2013, maka yang ada di urutan pertama adalah:

Sabtu, 21 Desember 2013

Nggak kerasa, rupanya hampir dua bulan terakhir ini aku absen ke toko buku. Ini sungguh prestasi bagi diri pribadi dan layak dimasukin ke curriculum vitae.
Banyak alasan untuk nggak ke toko buku dalam rentang waktu tersebut. Alasan paling mendasar adalah karena utang bacaan makin numpuk. Ada banyak buku belanjaan yang belum terjamah, ditambah lagi paket buku hadiah dari penerbit. Baik hasil menang kuis ataupun dikasih cuma-cuma, menambah deretan buku-buku yang terabaikan oleh tuannya. Karena alasan ini juga, akhirnya aku dan seorang teman yang kolektor buku juga, memutuskan merintis—sebut saja—online bookshop khusus buku bekas/koleksi pribadi. Kalau minat, silakan mampri ke twitter @VileBookshop. Diorder ya, Sis~

Kemarin, saat masuk ke Gramedia PS, aku sampe celingukan. Rupanya ada banyak sekali buku-buku yang baru terbit. Bingung dong mau beli yang mana. Di saat pikiran sibuk berkecamuk, mataku tertumbuk di salah satu sampul buku berwarna kuning.  Ah, buku ini... Jadi ingat beberapa bulan yang lalu, saat Ernest Prakasa, di twitter, meminta usulan judul untuk buku terbarunya. Waktu itu aku juga iseng ngajuin judul: Ernestory/Ernestories. Sempat di-mark as favorite sih oleh Koh Ernest (panggil Koh, biar kesannya akrab banget), walaupun akhirnya nggak kepilih juga. Ya wajar, usulan judulnya nggak marketable gitu. Ternyata, judul NGENEST yang kepilih.


Yaelah, jadi curhat. Intinya, aku jadi beli buku ini, dengan beberapa pertimbangan. Menurut isu yang beredar, buku ini lucu. Ditambah lagi, aku selalu menikmati kelucuan Koh Ernest di TV/YouTube sebagai comic. Apakah buku ini selucu penampilannya di panggung stand up comedy? Nah, biar kujawab di review ini~



Judul : Ngenest; Ngetawain Hidup A la Ernest
Penulis : Ernest Prakasa
Penerbit : Rak Buku
Tahun Terbit : Oktober 2013
Cetakan : Pertama
Tebal : 170 hlm
ISBN : 978-602-175-597-6

Dibanding bokap, keluarga nyokap gue tuh lebih original Cinanya. Gaya ngomongnya masih totok banget. Bagi mereka, gak ada istilah “kami” atau “kalian”. Adanya adalah “gua orang” dan “lu orang”. Kesannya insecure banget ya? Gue juga tau kalo kita semua ini orang, bukan ubur-ubur.
(Diambil dari bab “Woy, Cina!”)

Di banyak mall di Jakarta, ada petugas lift. Padahal siapa sih yang gak mampu mengoperasikan lift? Kalo mau ke lantai 3, kan tinggal cari tombol angka “3”. Simpel. Kecuali tulisan di tombolnya bukan “3”, tapi lebih rumit. Misalnya “1⁄2 x √36”.
Lagian gue belum pernah baca ada headline koran semacam ini:
“GAGAL MENEMUKAN LANTAI TIGA, SEORANG REMAJA TERJEBAK SELAMA DUA HARI DI DALAM LIFT MALL TAMAN NAGREK”
(Diambil dari bab “Jakarta Dikepung!”)


Selasa, 17 Desember 2013

Flying with You. Kemarin, di saat Palembang sedang hujan-hujannya, novel ini resmi masuk ke dalam jajaran "buku koleksi Rido yang ditandatangani penulisnya langsung". Setelah sebelumnya memaksa-maksa Tere Liye, Moammar Emka, Kirana Kejora, dan Roy Saputra untuk membubuhkan tanda tangan di buku karya mereka, kali ini yang jadi korbannya adalah adik tingkat sendiri di (mantan) kampus. Nadia Zuliaty Syaputri yang konon memakai nama pena Nadine Zulia Putri. 

Senaaaaaang. Cuma, kabar buruknya, umur Nadia baru 18 tahun dan udah nerbitin dua novel. A....aku? *menatap draf novel yang belatungan*

Sembari meratapi kemalasan diri sendiri, mari simak saja review-ku untuk novel Flying with You. Bekicot!


Judul : Flying with You
Penulis : Nadine Zulia Putri
Penerbit : Senja (Diva Press Group)
Tahun Terbit : Desember 2013
Cetakan : Pertama
Tebal : 266 hlm
ISBN : 9786022554

Sama seperti cinta, luka yang kita dapat sebelum tahu artinya cinta, akan membuat kita bertahan lebih lama. Cinta jauh lebih indah daripada goresan luka. Dan pasti, kita memilih untuk lebih lama mekar bersama cinta, bukan?

Cinta yang besar, kecantikan yang memikat, keberanian yang menjulang, apa artinya tanpa ketulusan? Tanpa kemurnian hati? Tanpa kesucian dan keanggunan menerima cinta?















 

Sabtu, 07 Desember 2013

Writers are born, not made” begitulah pemahaman orang awam terhadap sosok penulis. Katanya, menjadi penulis adalah bakat murni. Padahal, nggak, kan? Karena setahuku, bakat itu bukan sebab, tapi akibat. Menulis juga termasuk keterampilan; sama seperti menyanyi, sepak bola, tari balet, balap motor, atau bermain Yo-yo. Semuanya bisa dilatih. Semuanya butuh proses belajar nggak hanya dalam hitungan hari dan bulan, melainkan bisa bertahun-tahun. Nggak jauh beda ya sama proses pedekate sebelum pacaran? Halah!

Selain fakta di atas, fakta lain yang harus diluruskan adalah, bahwa nggak semua penulis mesti lahir dari keluarga penulis. Menjadi penulis nggak harus memiliki dinasti. 
Sebut saja, J.K. Rowling, penulis asal Skotlandia, beliau hanya seorang ibu tunggal beranak satu saat menulis seri Harry Potter. Artinya, semua orang dari berbagai kalangan dan profesi, bisa menjadi penulis buku... asal punya kemauan dan melatih kemampuan. 

Di Indonesia, selain selebriti yang aji mumpung jadi penyanyi, atau penyanyi yang jadi politikus, ternyata banyak juga selebriti (artis) yang aji mumpung menjadi penulis. Dimulai dari gebrakan Dewi Lestari atau akrab disapa Dee, yang meluncurkan novel fiksi ilmiah populer berjudul Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh pada tahun 2001. Setelah itu, nggak terhitung lagi kaum selebriti Indonesia yang ikut menulis/menerbitkan buku. Uniknya, hampir semua buku yang mereka tulis dilirik pembaca. 

Menurut KBBI, selebriti adalah orang yang terkenal atau masyhur (biasanya artis). Sedangkan, artis adalah seorang ahli seni; seniman, seniwati (seperti penyanyi, pemain film, pelukis, pemain drama).

Nah, berikut adalah beberapa nama selebriti yang turut meramaikan dunia kepenulisan di Indonesia: