Rabu, 30 Oktober 2013

Dalam rangka memeriahkan event GagasDebut Virtual Book Tour yang diselenggarakan oleh penerbit GagasMedia di awal bulan November, diriku yang penuh pesona ini mau berbagi kecerian dengan teman-teman sekalian yang suka membaca dan hobi menulis. Anggap saja ini tantangan kecil-kecilan untuk dapat hadiah yang kecil-kecilan juga, ya. Namanya juga berbagi keceriaan. :)

Nah, tantangannya gampang kok. Simak rules-nya:

1. Tulis sebuah cerita dalam bentuk flash fiction (cerita yang kurang dari 500 kata) di blogmu dengan tema "HUJAN". 

2. Komentari postingan ini dengan mengetikkan nama, akun twitter, serta link tulisan flash fiction di blogmu.

3. Mention juga judul dan link flash fiction yang kamu tulis serta hashtag ke twitter @ridoarbain. 
Contoh: Meja Nomor 5 http://www.ridoarbain.com/2013/01/flashfiction-meja-nomor-5.html #GiveawayAfterRain cc: @ridoarbain 

4. Batas waktu pengiriman link tulisan: 3 November 2013, pukul 17.00 WIB.

gambar dicomot dari sini
Karena ini giveaway suka-suka, jadi yang menentukan pemenangnya adalah aku sendiri. 1 (orang) yang flash fiction-nya punya ending dan twist paling oke,  akan diganjar 1 eksemplar novel After Rain karya Anggun Prameswari, dari penerbit GagasMedia.

Semoga beruntung!

Salam,
Rido G. Bastian

Senin, 28 Oktober 2013

Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Tentu kita sudah nggak asing dengan kalimat di atas. Ya, tulisan tersebut adalah bunyi butir ketiga Sumpah Pemuda. Bahasa Indonesia disumpah oleh para pemuda Indonesia, 28 Oktober berpuluh-puluh tahun lalu sebagai bahasa persatuan. Namun, kali ini, bukan itu yang ingin kubahas.

Sebentar... mau flashback dulu.

Pada suatu pagi di bulan Ramadan, sebagai remaja gaul pada umumnya, aku membuka jejaring sosial Facebook. Di halaman beranda, aku membaca status dari sebuah halaman education website Bahasa Kita yang isinya kurang lebih seperti ini: "SALAT bukan shalat atau solat." Status tentang tata bahasa EYD.
Aku pun tergelitik untuk membaca puluhan komentar pada status tersebut. Namun, seketika aku terbelalak saat melihat ada begitu banyak komentar kontra menyahuti status itu.

"Yang benar tuh shalat."

"Seharusnya sih SHOLAT. Sesuai dengan penulisan Arab-nya SHOD, LAM ALIF, TA MARBUTOH. Kalau SALAT, penulisan Arab-nya SIN, LAM ALIF, TA MARBUTOH."

"Yang penting pelaksanaannya, enggak usah ribut soal bahasa."

"Gue pilih nulis SHOLAT."

"Yang benar tuh SHOLAT, kalau SALAT itu sayuran."

"Yang bikin kamus bahasa Indonesia ini jangan-jangan orang kafirin dan musyrikin, yang sengaja mengubah-ubah arti dan makna setiap kata."

Jumat, 25 Oktober 2013

"Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan." 

Sebuah kalimat yang sering kita jumpai hampir di setiap pembuka film ataupun sebuah novel. Kalimat yang mengklaim bahwa ide yang yang dituangkan dalam karya tersebut benar-benar murni hasil olah imajinasi. 
Namun, siapa yang bisa menjamin ketika ada tudingan kemiripan ide cerita pada suatu film/novel dan berkelit bahwa itu adalah sebuah 'ketidaksengajaan' dan bukan 'penjiplakan'? 

Seperti yang pernah aku tulis di post Beberapa Sampul Buku yang Punya 'Kemiripan', sebenarnya di dunia ini nggak ada ide yang benar-benar baru. Yang kita sebut 'ide baru' adalah gabungan ide-ide lama yang dikemas dengan cara baru. 
Contohnya... film Indonesia yang berjudul Heart, yang dibintangi oleh Nirina Zubir, Irwansyah, dan Acha Septriasa. Bercerita tentang persahabatan cowok playboy dengan cewek tomboy. Pada suatu ketika, si cowok jatuh cinta pada seorang cewek feminin, yang membuat sahabatnya (si cewek tomboy) diam-diam terbakar cemburu. Mirip ide cerita film apa, pemirsaaa? Ya, mirip film bollywood legendaris... Kuch Kuch Hota Hai

Nah, ternyata bukan cuma sebuah film dengan film lainnya yang punya kasus demikian. Di Indonesia, ada beberapa novel yang ide ceritanya disinyalir mirip ide cerita film luar. Investigasi kali ini dilakukan secara sadar dan tanpa tekanan dari pihak lain, apalagi tekanan benda tumpul. Dan juga, investigasi ini sepenuhnya dibantu oleh mesin canggih sejuta umat; Google. Mari simak!

Sabtu, 19 Oktober 2013

Sudah sedari tadi aku menyumpal telingaku dengan headset berwarna putih yang tampak sudah mulai menguning. Namun, suara berisik yang bersumber dari mp3 player yang tersambung dengan speaker murahan di dalam bus ini makin menjadi-jadi. Aku yang terjebak duduk menyempil di deretan bangku belakang bus akhirnya angkat bicara, tanpa harus angkat besi. Aku bermaksud menuai protes kepada kernet bus.
“Mas, volume speaker-nya bisa dikecilin dikit?”
“Hah? Dikencingin?”
“Dikecilin!”
“Kelinci?”
“KAMPRET!”
“Heh! Kamu ngatain saya?!”
“Nggg, nggak, Mas.”
Aku melenguh panjang seraya menghindari tatapan memangsa dari sang kernet yang perawakannya amat kurus dan tinggi, mengindikasikan bahwa ia lebih mirip hasil persilangan antara manusia dan menara Petronas.
Lagu Cinta Satu Malam yang sejak tiga menit lalu berkumandang heboh akhirnya memasuki bagian outro. Itu artinya ada jeda beberapa menit untuk berpindah ke lagu berikutnya. Aku memanfaatkan kesempatan ini untuk kembali menuai protes kepada sang kernet bus.
“Mas, volume lagunya tolong dikurangin dong!”
“Kenapa? Kamu nggak suka lagu dangdut?”
“Bukannya nggak suka, tapi—”
“Inilah sombongnya anak zaman sekarang. Mentang-mentang zaman udah serba maju, jadi lupa dengan musik khas negeri sendiri.”
“Suaranya terlalu berisik, Mas.”
“Kamu pasti sudah keracunan lagu-lagu Korea, ya?”
“….”
Aku mendesah, pasrah. Kulirik sekeliling isi bus. Segelintir penumpang seperti sedang menatap ke arahku. Mungkin mereka sedikit terganggu dengan kericuhan ringan antara aku dan sang kernet.
Sementara itu, bus tiba-tiba mengerem. Tampak ada seorang penumpang perempuan memasuki pintu bagian belakang.

Senin, 14 Oktober 2013

Pernah bermimpi ingin bertemu dengan seseorang? Artis idola, pacar khayalan, atau tokoh politik kebanggaan? Aku pernah. Sekitar tahun 2009, saat masih duduk manis penuh kharisma di bangku SMA, aku pernah bermimpi ingin bertemu seorang penulis. Anggap saja ia adalah penulis favoritku... walaupun sebenarnya yang aku favoritkan adalah buku yang ia tulis, bukan orangnya.

Sejak membaca Doroymon, 4 tahun silam, aku mulai jatuh cinta pada genre komedi. Sampai hari ini. Sampai aku bertemu dengan penulisnya langsung. Roy Saputra.

Sejak terpikat oleh Doroymon, aku jadi berambisi memburu semua karya beliau, mulai dari Trave(love)ing, Rasa Cinta, sampai Setahun Berkisah. Juga kedua buku lainnya yang belum sempat kubaca; The DestinASEAN dan Trave(love)ing 2. TELAAAT. Karena sebelum buku-buku tadi, ternyata ada beberapa karyanya yang belum aku baca. Salah satunya novel komedi berjudul Lontang-Lantung, yang terbit tahun 2011. 
Pernah coba cek di setiap database toko buku yang aku kunjungi, tapi stok buku ini kayaknya udah punah dari peradaban. Coba tanya toko buku online, hasilnya tetap nihil. Sampai akhirnya, datang sebuah berita mengejutkan... tersiar kabar bahwa Lontang-Lantung akan dicetak kembali. Ahay!

Dan... Lontang-Lantung edisi repackaged pun terbit. Udah kelar dibaca, beberapa hari sebelum bertemu langsung dengan penulisnya. Saat kak Roy nanya apa pendapatku tentang buku ini, aku cuma jawab singkat: Ringan, lucu, dan filmis. :))

Itu tadi komentar singkatnya. Biar afdol, kali ini aku mau kasih review yang agak panjang tentang novel Lontang-Lantung. Here we go!


Judul : Lontang-Lantung
Penulis : Roy Saputra
Penerbit : Bukuné
Tahun Terbit: 2013
Cetakan: Pertama (edisi repackaged)
Tebal : 252 hlm
ISBN : 602-220-110-1


“Ri, namaku tak ada di sini,” kata Togar menggaruk-garuk kepalanya. Nama Togar jelas nggak ada. Dia kan nggak pernah masukin lamaran.
Gue mendekat ke arah Togar dan sedikit berbisik, “Coba lo liat, di situ ada yang nama Batak tapi masih kosong, nggak? Lo tanda tangan di situ aja. Ngaku-ngaku jadi dia.”
“Kenapa pula mesti nama Batak?”
“Gini, ya, Gar. Badan gede, muka kotak, dan logat Batak gitu, masa iya nama lo Paijo?”
“Ah, pintar juga kau. Tak percuma Mamak kau sekolah kan kau tinggi-tinggi!” Togar semangat mencari nama Batak yang kosong, “Eh, Ri. Ketemu, nih!”
“Siapa?”
“Rani Pangabean!”
“Yang cowok, Gar. Yang cowok.” Gue menunduk malas.
“Ah, iya. Benar juga kau!”
Togar menelusuri lagi daftar dan berhasil menemukan nama yang sepertinya pantas untuknya. Yohan Sitompul.
“Silakan tanda tangan di sini, Pak Yohan.” Mbak penjaga menunjuk kolom yang kosong.
“Ah, iya. Yohan, Yohan. Memang aku itu Yohan. Yohan Sitompul. Terima kasih banyak, Mbak. Salam hangat dari saya; Yohan Sitompul.” Togar yang grogi, mengulang-ngulang nama Yohan, membuatnya terlihat sangat kikuk dan aneh.

****

Cari kerja zaman sekarang emang nggak gampang, banyak orang rela melakukan apa sana. Itu juga yang dialami Ari Budiman, seorang sarjana pengangguran yang tak henti berjuang mencari pekerjaan demi sesuap nasi, tempe, ayam, dan tahu. Berhasilkah dia?
*… tolong ya, dibantu ya. bim salabim, kerja apa? prok prok prok.*