“Semuanya gara-gara kamu!”
“Gara-gara kamu!”
***
Diko dan Dino; anak laki-laki kembarku. Hari ini adalah hari
ulang tahun mereka yang ke-18. Ruangan rumah ini telah dihiasi dengan dekorasi
has acara ulang tahun, seperti balon warna dan kertas-kertas hias yang memenuhi
setiap sudut langit-langit rumah. Tak ketinggalan juga, kue dengan lilin membentuk
angka 18 di atasnya. Hanya satu kue untuk kedua anak kembarku.
Tiup lilinnya! Tiup
lilinnya! Tiup lilinnya sekarang juga! Sekarang juga! Sekarang juga!
Rumah ini masih ramai oleh para tamu undangan, terlebih
setelah acara peniupan lilin selesai.
Potong kuenya! Potong
kuenya! Potong kuenya sekarang juga! Sekarang juga! Sekarang juga!
“Aku saja yang memotong kuenya!”
“Aku saja! Aku kan lebih tua beberapa jam dari kamu!”
“Dasar serakah kamu, Dino!”
***
Kali ini bukan hanya tamu undangan yang memenuhi ruangan rumahku,
tapi juga datang tamu tak diundang—polisi.
“Semuanya gara-gara kamu, Diko!”
“Gara-gara kamu!”
Diko dan Dino masih saling serang dan menyalahkan. Aku tak sanggup lagi melerai, karena tubuhku sudah terbaring
di lantai dengan pisau menancap di perut.