Di luar, hujan sudah
tak deras.
Seorang lelaki yang duduk
di dalam warung kecil di sudut desa, melepaskan pandangannya keluar lewat jendela yang terbuat dari susunan bilah bambu, yang basah terkena tempias hujan.
Lelaki itu mengangkat cangkir, lalu mereguk kopinya yang mulai dingin. Sedingin suasana di luar sana.
“Maaf,
aku terlambat datang.”
Seorang perempuan berbadan hampir kurus, datang menghampiri.
Lelaki itu mengangguk pelan.
“Mau tambah kopi?” tanya perempuan itu lagi.
Lelaki itu tidak menjawab. Dia mengambil rokok, lalu menyulutnya.
“Katakanlah, sudah berapa lama kau menungguku?”
Perempuan
itu menatap dengan perasaan bersalah pada si lelaki.
“Hampir di separuh usiaku,” jawab lelaki itu sambil terbatuk.
“Ah, gombal sekali kamu, Ndra. Hei, sudahlah! Jangan merokok lagi!
Tidak baik untuk kesehatanmu.”
Perempuan
itu dengan cekatan merampas rokok dan memadamkan nyalanya di permukaan meja
yang berbahan dasar kayu.
Di luar, senja sudah berlalu.
Lelaki itu terbatuk-batuk lagi.
Di luar, tampak pohon rindang yang di atasnya bertengger sepasang
burung kutilang.
Burung kutilang jantan dan betina yang saling berhadapan
layaknya posisi mereka sekarang. Rindra dan Aina.
***
Hari ini, hujan turun cukup deras. Sejak pagi, langit memang sudah tidak
ramah.
Aku termangu di jalan kecil menuju danau.
Membiarkan butiran hujan yang disapu angin menerpa wajahku. Sejak dulu, aku memang suka melihat
hujan. Begitu hujan menjadi sangat deras, aku merasa hatiku menjadi sejuk.
Begitu wajahku basah karena serpihan hujan, aku merasa seperti ada tangan gaib
sedang menjamah lembut kulit di wajahku.
Hari sudah sore. Sementara itu, langit sudah lelah menangis.
Ada sosok perempuan yang berjalan mendekat; Aina.
Sampailah kami di danau ini. Aku dan Aina tersenyum memandang riak sebagai salam pembuka. Tak sebebas siang memang
pandangan, tapi lukisan pelangi itu, seperti kombinasi yang sempurna sehingga keindahan danau ini tetap tersuguhkan.
Aku menghempaskan tubuhku di atas hamparan
rumput ilalang.
Aina pun tak mau kalah.
Saat pelangi lahir setelah tetes hujan, maka lengkungnya memberi warna pada rumput, pohon, dan
atap-atap rumah, serta peluk kasih yang tak seharusnya perih. Saat-saat seperti inilah yang akan selalu aku
rindukan. Saat kami menanti senja, dan menyesalkan kegilaan yang ada dalam diri masing-masing. Serta dentuman-dentuman lembut yang pernah berirama tak biasa di dalam dadaku. Ah, cinta itu memang terkadang gila dan melumpuhkan logika. Hingga pertemuan yang
kutakutkan ini pun tiba.
Betapa kagetnya aku, saat mendengar pengakuan Aina. Bahwa, sudah ada laki-laki yang telah mengisi sebagian
ruang di dalam hatinya.
“Sejak kapan?” desakku.
“Sudah lama,” jawabnya pelan.
“Sejauh mana?” tanyaku lagi.
“Hmm, aku tidak tahu.”
“Sungguh kusesalkan, kenapa kau baru memberitahuku!”
“Maafkan aku. Aku sendiri tidak tahu harus berbuat apa. Aku buntu akal. Tapi, percayalah, cinta
ini masih untuk kamu!”
Aina bersikeras
meyakinkanku.
“Mungkin kau masih mencintaiku. Mungkin kau bisa
mencintai hari-harimu hingga senja berlalu. Tapi kau tak akan bisa mencintaiku seperti pelangi yang
mencintai hujan seperti ini,” kataku tanpa menoleh ke arah Aina.
Mataku yang tajam masih menyorot ke arah
langit yang hampir gelap.
Aina memang menyesalkan hal itu. Sampai tercetus dari mulutnya bahwa aku orang yang terlalu baik untuknya. Namun, cinta yang lain telah menguasai diri Aina dan membutakannya.
“Untuk seorang sepertiku, keindahan dari
komposisi warna pelangi memang tak bisa disangkal. Tapi, percayalah, pelangi akan jauh lebih indah apabila aku
menikmati keindahannya bersamamu. Iya, kita berdua. Menghabiskan senja yang
tersisa hingga pelangi itu memudar dan hilang. Lalu, membiarkan langit menutup
pertunjukannya.”
Aina hanya terdiam. Mungkin masih mencerna
setiap kata dalam kalimat yang aku lontarkan.
Cukup lama kami saling diam.
Aina mengangguk, lalu mendaratkan kecupan di
pipi kananku. Manis.
Pandanganku beralih dari pelangi yang telah
pudar, berganti menatap Aina.
Ada sesuatu yang bening menetes dari matanya.
Ia menangis.
“Pergilah, temui Rindra! Jangan sesali
keputusanmu, Ai. Aku pun tak menyesali yang terjadi. Terima kasih untuk yang
sudah dan telah lalu. Kamu akan bahagia, aku yakin. Aku pun akan bahagia
menikmati senja, tanpamu. Meskipun akan ada yang beda nantinya.”
Aku membiarkan Aina pergi, menjauh, hingga sudah tak terlihat lagi.
Ia akan pergi ke sudut desa menemui Rindra,
cinta pertamanya sebelum aku.
0 Komentar
Silakan berkomentar. Lihat apa yang akan terjadi!