Setelah sukses dibuat haha-hihi oleh buku Boys Will Be Boys tahun lalu, mungkin aku jadi salah satu pembaca yang kebelet nungguin terbitnya buku kedua dari seorang Ryandi Rachman—atau akrab disapa Kundil.
Hingga pada saat purnama kelimabelas terlewati, akhirnya Peggy Melati Sukma pun memutuskan untuk berhijab, tepat ketika aku mendengar kabar bahwa buku kedua Kundil yang berjudul Satu Per Tiga akan segera terbit.
Sebenarnya, ada open pre order buku ini di salah satu toko buku online, dengan bonus tanda tangan dan cap bibir penulisnya. Tapi, sebagai lelaki sejati yang menanamkan norma dan nilai-nilai yang berlaku, aku ogah beli. Masa, aku mesti beli buku yang ada cap bibir cowoknya? Nista amat! Makanya, aku lebih milih nungguin bukunya ready stock di toko buku offline (?).
Baiklah, saatnya kita memasuki bagian paling penting dari tulisan ini. Dengan hitungan mundur, mari kita mulai review-nya. 100... 99... 98... 97... oke, kayaknya kelamaan. Singkat aja. 3... 2... 1... Asek! Asek Joss!
Satu Per Tiga adalah buku tentang persahabatan antara tiga cecunguk; Kundil, Baim, dan Sambas. Tiga karakter yang digambarkan punya keunikbodohan masing-masing. Sambas yang cadel dan bertampang paling lumayan daripada kedua sahabatnya, namun memiliki keahlian di cabang olahraga bulutangkis. Baim yang paling polos dan kecerdasannya berada di zona degradasi. Serta Kundil yang berambut keriting brekele, sosok yang terindikasi sering meracuni kedua sahabatnya dengan video bok*p.
Diceritakan bahwa Sambas, Baim, dan Kundil sudah bersahabat sejak duduk di bangku SMA karena selama tiga tahun berturut-turut, sialnya mereka selalu sekelas. Singkat cerita... Setelah 3 tahun lepas dari bangku sekolah, ketiga sahabat ini tetap menjalin komunikasi walaupun sudah melanjutkan kuliah di universitas dan jurusan yang berbeda.
Suatu hari, mereka janjian ketemuan di basecamp yang mereka namai Poncer, yang konon adalah singkatan dari Pohon Ceri. Tingkat kecerdasan dan kreativitas mereka sudah bisa ternilai di sini.
Di sela-sela keasyikan bernostalgia di Poncer, tiba-tiba mereka bertigamelakukan musyawarah untuk mufakat berencana untuk melakukan kegiatan liburan. Tujuan mereka adalah Karimun Jawa. Sekilas, scene ini bikin aku ingat sama buku/film 5 Cm. Mungkin, penulis memang terinspirasi ide cerita dari situ, tapi ceritanya dikemas dengan alur yang berbeda.
Diceritakan bahwa Sambas, Baim, dan Kundil sudah bersahabat sejak duduk di bangku SMA karena selama tiga tahun berturut-turut, sialnya mereka selalu sekelas. Singkat cerita... Setelah 3 tahun lepas dari bangku sekolah, ketiga sahabat ini tetap menjalin komunikasi walaupun sudah melanjutkan kuliah di universitas dan jurusan yang berbeda.
Suatu hari, mereka janjian ketemuan di basecamp yang mereka namai Poncer, yang konon adalah singkatan dari Pohon Ceri. Tingkat kecerdasan dan kreativitas mereka sudah bisa ternilai di sini.
Di sela-sela keasyikan bernostalgia di Poncer, tiba-tiba mereka bertiga
Banyak sekali pengalaman yang mereka dapat saat liburan bertiga. Bertemu cewek kece bernama Pevi, kapal yang mereka tumpangi nyaris tenggelam diterpa badai, berenang di kolam hiu, dan kejadian-kejadian absurd dan unpredictable lainnya. Malam
terakhir di Kepulauan Karimun Jawa, mereka membahas
tentang mimpi masing-masing.
“Tiga
kata untuk, cita-cita… mimpi… dan harapan.”
“Tiga
kata untuk, Manusia… Alam… dan Tuhan.”
“Tiga
kata untuk?”
“Baim,
Kundil, Sambas.”
“Gak
mau! Gue maunya Sambas, Kundil, Baim.” Sambas protes.
“GAK
MAU! GUE YANG PERTAMA!”
Bab di buku ini ditutup dengan kisah Sambas saat mengikuti PON XVIII yang digelar di Pekanbaru, Riau, sebagai salah satu perwakilan Jawa Barat di cabang Bulutangkis. Tentu saja, peristiwa sakral ini menjadi salah satu pembuktian kesetiakawanan antara Sambas dan kedua sahabat yang selalu mendukungnya
—Kundil dan Baim.
Simply fun to read. Selain dipaksa untuk ngakak bertubi-tubi di beberapa scenes dan dialog, buku ini juga memancing emosi dan rasa haru. Walaupun di bab-bab awal, menurutku, terlalu banyak kosakata durjana semacam tit*t dan kerabatnya... Serta typo yang harusnya bisa diminamalisir, mengingat editor buku ini ada dua nama.
Sekian dan salam tutuy!
—Kundil dan Baim.
"Untuk apa kita hidup? Untuk menemukan jawaban dari pertanyaan itu." — Satu Per Tiga
Simply fun to read. Selain dipaksa untuk ngakak bertubi-tubi di beberapa scenes dan dialog, buku ini juga memancing emosi dan rasa haru. Walaupun di bab-bab awal, menurutku, terlalu banyak kosakata durjana semacam tit*t dan kerabatnya... Serta typo yang harusnya bisa diminamalisir, mengingat editor buku ini ada dua nama.
Sekian dan salam tutuy!
2 Komentar
agak gimana-gimana kalo review-nya pake "aku" bahaha..
BalasHapuslebih suka baca review yang pas make "lo-gue"..
-
ini sambas beneran jago maen bulutangkis? :|
Kayaknya, mesti balik lagi deh ngeblog pake "gue" -___-
BalasHapusSilakan berkomentar. Lihat apa yang akan terjadi!