[Cerpen] Tiada Lagi Kamu


Lihat langkahku
Tak lagi ku mengingat tentangmu
Tiada beban tersisa
Yang tertanam di jiwa
Rapuhkan cinta
Yang telah membeku


"Kalau bulan tersenyum, dia akan mirip kamu," celotehku.
"Baiklah, itu berarti..." Ia memepuk-nepukkan telunjuknya di pipi. "Wajahku bulat, pucat, dan hanya temarang di kegelapan. Terima kasih, itu adalah kalimat yang aku tunggu untuk membuat malam ini begitu istimewa."
Alisku beradu. "Pujian apa pun bakalan jelek, lah, kalau ditanggapi seperti itu."
"Kamu sedang memuji aku? Baiklah, anggap saja aku bodoh, tidak bisa membedakan mana pujian dan mana gombalan," balasnya dengan senyum tipis.
"Begitulah kamu. Kamu bahkan lupa caraku melucu. Aku sayang kamu, jelas?"
"Eh?" Ia menoleh sejenak, lalu membisu, mungkin berusaha menyembunyikan kekagetannya.
"Aku suka kamu, jauh sebelum kamu menganggap kita sahabat."
Ia bergeming, seolah menuli. Reaksi yang sederhana, namun cukup untuk merusak rencana besar yang kubangun sejak awal; memastikan rasa yang kusebut cinta.
Bukan tentang berapa detik mata ini mata ini terbius karena pesonamu, tapi tentang berapa detak yang jantung ini hasilkan saat berada di dekatmu. Selalu. Aku mengeja kalimat--yang sudah kusiapkan sejak sepuluh tahun yang lalu--itu dalam hati.
***



"Aku harus bertemu dengannya, Bu," rengekku. "Besok kita akan pindah dan aku tidak akan bisa meninggalkannya begitu saja."
"Tapi sudah tidak ada waktu, Ben," terdengar suara ibu seolah mulai hilang kesabaran. Tapi aku belum mau berhenti membicarakan tentang sahabatku itu.
"Pokoknya kalau belum bertemu Nasha, aku tidak mau pergi!" ancamku pada ibu.
Akhirnya ibum menyerah. "Baiklah. Kalau begitu temuilah dia. Setelah itu kita bersiap pergi."
Wajahku kembali cerah. Kularikan tubuhku keluar dari kontrakan sempit itu. 'Gubuk' yang selama belasan tahun kuhuni bersama ibu. Berdua saja.
Ibu hanya melihat tingkahku dengan wajah lelah. Menghela napas cukup panjang. Ia tahu, hidupku tanpa ayah memang sangat sulit. Apalagi aku adalah anak tunggal. Tentu ia sangat sadar betapa kesepian aku selama ini.
Aku masih dengan kegiatanku. Berlari. Berlari dengan penuh peluh membasahi pakaianku yang sudah tampak lusuh. Hanya untuk menemui seorang perempuan bermata lembut di sebuah tanah lapang di ujung gang, yang kami sebut 'taman bermain'.
Ia ada di sana. Dan akan selalu tetap di sana, menungguku untuk menuntaskan hasrat bermain seharian. Namanya Nasha, sahabatku sejak lama. Sejak kecil. Sejak aku belum akrab dengan dunia. Sejak aku masih buta tentang cinta. Satu-satunya manusia yang mulai hari ini aku akan sangat kehilangan dia.
"Nashaaa... sudah lama menungguku?" teriakku dari jarak sekitar 20 meter tempatku berdiri.
"Hai, Bena. Ayo kemari! Hari ini giliran kamu menggendongku keliling taman bermain. Awas kalau kamu curang," balasnya seraya berkacak pinggang menagih janji yang sudah kami sepakati sehari-hari. Hari ini memang tugasku untuk menjadi 'kuda' bagi Nasha.
"Tapi, hari ini aku tidak bisa bermain kuda-kudaan denganmu. Aku harus pergi."
Nasha terdiam. Tak mengucapkan sepatah katapun. Mungkin ia kecewa karena aku telah berbuat curang untuk hari ini. Hari ini? Salah. Seharusnya aku bilang hari ini dan seterusnya. Tapi itu akan cukup menyakitkan baginya, dan itu artinya menyakitkan untukku juga.
"Nasha, aku harus pergi sebentar. Ibuku mengajakku pergi sementara meninggalkan rumah. Aku tak tahu alasannya. Yang pasti aku tidak bermaksud curang, yakinlah!" teriakku seraya mendekati Nasha yang masih tidak paham dengan apa yang aku bicarakan.
"Lalu, aku harus bermain dengan siapa hari ini? Siapa yang harus aku tunggu di taman bermain esok hari?" tanyanya dengan tampang polos kekanakan.
"Maaf. Tapi aku janji akan menemuimu lagi di sini. Percayalah!"
Nasha hanya menunduk lesu. Membisu.
Aku melangkah meninggalkan taman bermain. Sedikit berlari. Lalu menghilang dari pandangan Nasha.
***
"Serius? Ia masih tinggal di kampung sini?" tanyaku pada seorang ibu paruh baya.
"Iya. Saya sering melihatnya di lapangan ujung gang ini," jawab si ibu penuh keyakinan.
Hampir genap sepuluh tahun aku meninggalkan kampung ini. Tak ada perubahan yang berarti. Kuhabiskan waktu dengan duduk termenung, di tempat ini, taman bermain, tanah lapang yang sekarang melengkapi kerinduanku terhadap Nasha. Tempat ini masih sama, hanya saja ada beberapa rumpun rumput liar yang tumbuh seenaknya di sana-sini. Selain itu, aku hafal semua detailnya. Tulisan kanji di pipa beton yang sering kami duduki--yang aku tidak mengerti maknanya tapi tahu cara menuliskannya.
Lalu, ada yang mengusik lamunanku.
"Bena?" sapa seorang perempuan yang entah sejak kapan telah berdiri di hadapanku. Wajah yang tak asing lagi di mataku. Ia makin cantik, sungguh, setidaknya menurutku.
***
Senja sudah memudar. Malam memulai pertunjukannya. Kami masih sibuk bernostalgia.
"Kalau bulan tersenyum, dia akan mirip kamu," celotehku.
"Baiklah, itu berarti..." Ia memepuk-nepukkan telunjuknya di pipi. "Wajahku bulat, pucat, dan hanya temarang di kegelapan. Terima kasih, itu adalah kalimat yang aku tunggu untuk membuat malam ini begitu istimewa."
Alisku beradu. "Pujian apa pun bakalan jelek, lah, kalau ditanggapi seperti itu."
"Kamu sedang memuji aku?
Baiklah, anggap saja aku bodoh, tidak bisa membedakan mana pujian dan mana gombalan," balasnya dengan senyum tipis.
"Begitulah kamu. Kamu bahkan lupa caraku melucu. Aku sayang kamu, jelas?"
"Eh?" Ia menoleh sejenak, lalu membisu, mungkin berusaha menyembunyikan kekagetannya.
"Aku suka kamu, jauh sebelum kamu menganggap kita sahabat."
Ia bergeming, seolah menuli. Reaksi yang sederhana, namun cukup untuk merusak rencana besar yang kubangun sejak awal; memastikan rasa yang kusebut cinta.
"Aku pamit dulu. Besok kamu tak perlu lagi ke sini, karena tak ada seorang pun yang bisa kamu tunggu. Kalaupun ada, percayalah, ia tak mungkin datang." Nasha beranjak dari pipa beton yang menjadi alas duduk kami sejak pertemuan sore tadi. Aku melihat matanya tampak basah. "Oh iya, mau titip salam untuk suamiku?"
Entah kenapa, tiba-tiba aku kehilangan fungsi mulutku.


Ku mengharapkan engkau
Jauh tak kembali
Bawa tangisan itu
Kau membalutkan perih
Sesakkan jiwaku
Hempaskan semua rasa


Juli 2012
diangkat dari lagu "Lihat Langkahku" karya Peterpan
#CerpenPeterpan

Posting Komentar

2 Komentar

Silakan berkomentar. Lihat apa yang akan terjadi!