Menyambut "Kepala Dua"


Akhir-akhir ini gue ganteng. Eh, bukan! Akhir-akhir ini gue galau. Entah kenapa, banyak kalimat-kalimat 'nusuk' yang mengekor ucapan selamat ulang tahun yang sering gue baca belakangan ini, seperti: "Usia hanyalah penanda, namun dewasa adalah tujuan utama" atau "Menjadi tua adalah pasti, menjadi dewasa adalah pilihan". 
That's so jleb, you know? (-___-*)

Lah? Apa hubungannya sama gue galau? Oke, mari kita definisikan dulu apa artinya galau. Menurut KBBI, GALAU adalah saat pikiran sedang kacau nggak karuan. Hmmm.. 
Fyi aja sih,  dua hari lagi, tepatnya 27 Maret besok itu adalah hari kelahiran gue; hari yang memperingati peristiwa brojolnya gue dari rahim seorang Ibu hebat yang lebih kuat dari superhero mana pun; hari di mana dua puluh tahun yang lalu dunia pernah menyambut sosok yang fenomenal ini (gue). Halah! Abaikan! Mhihi :) Lalala~ Yeyeye~

Yeah, sebentar lagi gue memasuki usia kepala dua. Itu artinya kepala gue nantinya akan bercabang. Dan itu sangat amat mengerikan banget sekali buat gue yang masih polos ini. Gue mulai merasa bahwa usia dua puluh itu menuntut-memaksa-menodong-menohok gue untuk menjadi D~E~W~A~S~A. Iya, DEWASA. Sebuah kata yang gue paling nggak suka sejak kecil. Karena, dulu, bagi gue, dewasa itu adalah saat di mana akan merusak semua hal-hal indah di masa kecil. 

Menjadi (sok) dewasa itu membuat kita munafik, memaksa kita untuk melakukan hal yang sebenarnya bukan 'kita'. Misal, ketika kita lagi jalan bareng sama teman sebaya atau teman kuliah, atau teman sepergaulan, katakanlah begitu. Saat ada teman iseng menjahili kita, seperti nempelin sisa hasil ngupilnya ke baju kita, atau keisengan yang lebih extreme lainnya. Nah, apa yang bakal lo lakuin setelah itu? Mungkin bagi segelintir orang, mereka yang sudah merasa 'dewasa', hasil tempelupilbekas itu dianggap mainan yang serius. Dan itu dampaknya dapat berupa, si korban marah-marah kesal, mengumpat, menyumpah serapahi  si pelaku tempelupilbekas. Doi nggak terima hasil karya temannya itu menghiasi pakaiannya yang sebelumnya udah disetrika rapi pake Autan. Padahal itu tadi cuma dianggap becandaan oleh temannya. And the result, hubungan mereka akan merenggang sedemikian rupa.
Itu endingnya bakal beda kalo gue yang sedang berada di posisi si korban tempelupilbekas. Kalo pun gue digituin, percayalah, gue nggak akan marah. Serius. Soalnya gue ini orangnya nyantai, jarang serius, dan ceria. *uhuk* Jadi, kalo digituin, gue jamin, gue pasti bakal ketawa. Iya, walaupun itu sedikit menyebalkan, tapi nggak bisa dipungkiri, menurut gue itu insiden lucu. Sambil ketawa unyu, gue pun akan membalas dengan balik nempelin upil yang lebih bigsize, fresh from the oven, ke si pelaku. Kalo niat si teman tadi memang murni cuma ngisengin, ya bales isengin aja. Dalam dunia pertemanan-bagai-kepompong, yang usil-mengusil gitu mah udah biasa. Tinggal kita mau meresponnya kayak gimana. *nyengir ala Mario Teguh*

Dulu, waktu masih imut-imut, gue menganggap menjadi dewasa itu ribet. Bagi gue, orang dewasa adalah spesies aneh. Suka mendandani diri dengan pakaian aneh dan membuat lelucon yang nggak lucu. Huh!

Namun, pada akhirnya, gue yang dulunya menganut faham "nggak mau dewasa" memang udah memilih jalan yang sesat. Gue salah jalan. Dan sekarang gue sedikit banyak sadar kalo menjadi dewasa itu memang suatu keharusan. Dewasa itu sikap, bukan umur. Kedewasaan sejati terletak di sikap atau attitude, dan bukan pada umur. Seringkali kita berpikir, kalo usia yang menua merupakan tanda yang absah dari sebuah kedewasaan. Kenyataannya nggak. Usia bukanlah faktor penentu dari sebuah kedewasaan. 

So, apakah gue otomatis menjadi dewasa di usia dua puluh nanti. Semuanya hanya akan menjadi misteri. Mari kita lihat nanti. ^^

Sejarah masa kecil hingga kita punah, mencatat sesuatu yang terlihat, mendengar sesuatu yang terkabar. Bagiku, tolak ukur pendewasaan bukanlah terletak hanya pada usia dan pertumbuhan badan, melainkan pada sebuah pencapaian . . . -Rido Arbain

Posting Komentar

0 Komentar