[Lomba Fiksi Fantasi 2012] Sam dan Wajah dalam Cermin


Judul : SAM DAN WAJAH DALAM CERMIN
Keyword : gula-gula, pohon pisang, pasar malam, polkadot, rasi, palung, salju



Sam terjaga dari tidur dengan nafas tersengal-sengal. Kepalanya terasa berputar sesaat. Dia melirik jam weker di samping tempat tidur. Tepat pukul 03:00.
Malam ini adalah saat-saat terburuk dalam hidup Sam. Saat kacau, karena belakangan ini ia sering melamun atau bahkan bermimpi tidak jelas, yang setelah itu membuatnya meringkuk di pojok kamar dengan tubuh gemetar, bibir menggigil sambil meremas-remas rambutnya. Dia seperti mendapati tubuhnya menjadi sosok orang lain yang bukan dirinya. Sam terpaku di depan cermin, lalu tertidur karena kelelahan.
***
Langit biru keabu-abuan lengkap dengan garis tipis putih berkilat yang sesekali muncul. Mendung menggelayut manja di tangan matahari pagi itu. Udara dingin pun menusuk tulang sum-sum. Angin lembab kota Shopia berhembus dan menggoyang dedaunan pohon di sekitar halte bus itu. Hujan tak juga turun walaupun suara gemuruh awan sudah beberapa kali terdengar.
Sam melirik lagi arloji Guess yang melingkari pergelangan tangannya yang kekar. Sudah ketiga kalinya ia melakukan itu. Pertama, 30 menit yang lalu ketika ia menyadari bahwa lagi-lagi ia terlambat pergi ke kampus hanya karena harus menyisihkan waktunya untuk berdebat dengan Donna. Donna adalah adik bungsunya yang dikenal jahil selalu menyembunyikan sepatu All Star milik Sam. Yang menyebalkan lagi adalah rengekan sok manja Donna di setiap pagi seraya mengancam Sam untuk membelikannya permen gula-gula dengan jaminan ia akan mengeluarkan sepatu Sam dari tempat persembunyiannya. Sam hanya bisa menggeleng apabila mengingat hal itu.
Dari kejauhan tampak mesin beroda empat yang dinantikannya pun muncul. Sam menghela nafas. Senyum lega nampak terpancar dari bibirnya yang kecoklatan, mungkin akibat terlalu sering menghisap rokok.
Sam meluncur bersama bus angkutan di Jalan Sophia, melintasi area keramaian kota. Walaupun sekitar pinggir jalan banyak ditumbuhi pohon pisang dan rumput liar, namun area tersebut  merupakan tempat rutin diadakannya pasar malam. Salah satu hiburan masyarakat lokal.
Pakaian bermotif polkadot menyembul sedikit dari kerah baju seragam kemejanya, seolah menegaskan bahwa Sam sangat buru-buru sampai dia tidak sempat merapikan pakaiannya bahkan sekedar sarapan pun dia tidak sempat.
Sesaat setelah Sam menduduki salah satu kursi penumpang. Tiba-tiba ada yang menepuk bahunya. “Hai!” Seorang perempuan menyunggingkan senyum termanisnya untuk Sam. Wajah yang tak asing lagi baginya.
“Eh, Sezha! Tumben... Kamu kesiangan juga?” balas Sam mencoba menyembunyikan kekagetannya.
Perempuan berambut panjang bernama Sheza itu hanya membalas dengan senyum. Lalu merapikan posisi duduknya. Sam pun kembali membalikkan badan.
Sam selalu mengagumi rambut Sheza, teman sekelasnya. Hitam dan bersinar, lebat pula, menjuntai hampir meraih lututnya. Sering Sam menatap rambut itu dengan penuh perasaan takjub. Berkilau dan halus bak sutra, begitu komentarnya seringkali.
Rambut mengkilat Sheza membuatnya tak pernah kekurangan penggemar. Semua orang membicarakannya. Terutama para perempuan—dengan perasaan iri. Termasuk Sam.
***
Sam berjalan di trotoar, seorag diri.
Lampu-lampu di sepanjang pinggir jalan menyala terang, tapi sebagian sudah ada yang mati dan sepertinya dibiarkan begitu saja tanpa ada perbaikan. Hal ini membuat jalan raya Shopia menjadi gelap dan rawan tindak kejahatan. Untung malam ini langit cerah, bintang-bintang bertaburan di taman angkasa. Keindahan panorama bintang di langit itu menjadi hiburan tersendiri bagi Sam, membuatnya merasa tak sendiri.
Sam telah sampai di sebuah rumah. Rumah itu selalu sunyi. Temboknya telah kusam, catnya mengelupas semua. Lantainya pecah-pecah dan ditumbuhi alang-alang yang meninggi. Di sini Sam dapat melihat langit dengan lebih lantang. Menatap ke arah atap bumi itu, penuh penghayatan.
Seperti orang kebanyakan yang percaya dengan adanya ilmu falak. Maka Sam pun tak mau kalah, seolah memiliki kemampuan dalam membaca rasi bintang di langit. Ia melihat sekelebat seperti ada bintang jatuh. Saat yang tepat untuk ‘make a wish’, pikirnya.
“Aku ingin seperti Sheza!” teriaknya dalam hati.
Ada yang sudah tidak sanggup lagi bertahan dalam kesesakan, keinginan yang membuncah dari palung hati, yang dasarnya paling dalam. Dirinya ingin berkompromi dengan keadaan.
Sam mendekati sebuah lemari tua. Ah, bukan! Dia mendekati layar cermin yang terpaku di dinding dekat lemari itu. Seolah sedang berdialog dengan si cermin, Sam bergumam.
“Kecantikanku tiada tara. Kulitku putih mulus, tanpa noda. Mata coklatku selalu bersinar. Rambut tebal bergelombang berwarna kuning emas. Gigi putih yang rata, lengkap dengan aksesoris behelnya. Hidung yang mungil dan menggemaskan. Wajah oval dengan kurva yang lembut. Tubuh sempurna yang membuat semua pria melirikku ke mana pun aku pergi.”
***
Sam tersadar dari lamunannya, saat sebuah Honda CRV hampir saja menabrak bus angkutan yang ditumpanginya. Nasibnya dan penumpung lain hampir na’as kalau saja si sopir tidak cukup awas untuk mengelak dari calon tabrakan itu. Sam menoleh. Di kursi belakang masih ada Sheza dan penumpang lain yang terlihat melenguh panjang dan menarik nafas dalam-dalam setelah insiden itu. Merasa sudah cukup tenang, si sopir pun kembali menarik pedal gas.
Melirik angka 07:12 yang berkelip di arloji, mobil berhenti tepat di depan Universitas Nature. Salah satu kampus mewah di sebelah barat kota Sophia. Terletak di jalan utama menuju perumahan mewah yang dikembangkan oleh Citra Land Group. Kampus perkuliahan dengan fasilitas yang lengkap. Terdapat taman yang cukup luas. Tak heran apabila Sam membela-belakan menempuh jarak yang cukup jauh untuk sekedar menuntut ilmu di tempat ini. Di sinilah ia berbicara tentang cita-cita.
***
Malam sudah larut. Jalan raya kota Shopia terlihat sepi. Tak terlihat lagi kendaraan dan sesosok manusia pun melintas di jalan. Hanya di beberapa titik tempat masih terlihat ada aktivitas manusia.. Toko-toko dan warung di sepanjang pinggir jalan juga sudah pada tutup. Hanya satu dua yang masih buka. Rumah-rumah komplek pun sudah sepi, seperti tak ada aktivitas lagi. Di salah satu bangunan yang cukup besar, di dalam ruangan kamar berukuran 4 x 5 Meter, Sam terlihat sedang memelototi layar monitor komputer. Sepertinya dia masih asyik dengan pekerjaannya. Jari-jari tangannya menari lincah di atas keyboard. Padahal malam sudah larut. Ia sama sekali tak terusik oleh suara-suara kecil detik jarum jam dinding yang menempel di dinding beton kamarnya. Seharusnya setengah jam yang lalu Sam sudah tertidur, jika saja ia melupakan tugas perkuliahan yang mana deadline-nya sudah menunggu di depan mata, tinggal beberapa menit lagi. Dia akan menyelesaikan pekerjaannya malam ini juga.
 “Tinggal mengirim email saja. Kemudian log out,” katanya dalam hati. Serius matanya menatap ke layar monitor, memastikan apakah email-nya sudah terkirim dengan baik. Wajah Sam menampakkan rasa lega usai mengirim tugas Aljabar Linier yang baru saja diselesaikannya melalui email. Dia lalu mengklik log out. Sam mencabut flashdisk dari colokan. Kemudian men-shut down komputernya. Dia beranjak dari kursi dan berjalan menuju ke kasur tempat tidurnya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 23:50 ketika Sam menghempaskan tubuhnya ke kasur. Namun ia belum memejamkan mata. Seperti sedang berfikir keras, tentang sesuatu.
Saat Sam sedang sibuk dengan segala yang ada dalam fikirannya, ada yang mengetuk pintu kamar Sam. “Sam, kamu belum tidur?” tanya seorang wanita yang sudah tidak muda lagi namun masih tampak kecantikannya. Wanita itu ibunya Sam.
“Iya, Ma. Masuk saja, tidak dikunci!” balas Sam dari dalam kamar.
“Kamu belum makan? Makan dulu sana! Tadi pagi sudah tidak sarapan... nanti kamu sakit. Itu ada soto di lemari dapur...” lanjut ibunya seraya memasuki kamar dan duduk di samping Sam.
“Eh, Ma, aku mau cerita sesuatu,” Sam beranjak dari kasur dan mulai membuka obrolan lain.
Sam menceritakan lamunan singkatnya saat sedang berada di angkutan menuju kampus tadi kepada ibunya. Namun belum selesai ia membahas, ibunya memotong. “Sudah, jangan berfikir yang aneh-aneh... kamu itu laki-laki, Sam!”
“Tapi, akhir-akhir ini aku merasa ada jiwa perempuan yang terperangkap dalam tubuhku, Ma... Aku ini perempuan!” balas Sam menimpali dengan raut muka yang serius.
“Cukup! Jangan berfikiran gila, Sam!” bentak ibunya.
Sam menghambur dari kasur ketika ibunya mau melanjutkan bantahannya. Sam menghambur keluar kamar. Namun bukan menuju meja makan. Dia malah berlari ke luar rumah. Berlari dan berlari menjauh, tiada tujuan.
Tiba-tiba Sam mengalami tekanan batin yang dahsyat. Hatinya bergejolak.
“Aku perempuan...!!! Aku adalah seorang perempuan!! Hahaha... Aku perempuan...!!! Tidak! Tidak mungkin! Aku bukan perempuan!”
Sam menangis dan mendesis. Masih terus berlari meninggalkan rumahnya. Ia terus berlari dan berlari.
Ketika melewati sebuah jalan yang gelap, tiba-tiba ada perasaan tidak nyaman menyelinap dalam hati Sam. Dia merasa seperti mendengar ada suara gemerisik, tapi tak begitu yakin. Dia mencoba menengok ke sekitar, ternyata tidak ada siapa-siapa. Hembusan angin yang menyentuh pori-pori kulitnya membuat bulu kuduknya merinding. Sam adalah seorang terpelajar, mahasiswa jurusan komputer semester tujuh, dan berpikiran rasional. Dia tidak percaya adanya hantu dan sejenisnya yang dianggapnya sebagai tahayul. Namun tak bisa dipungkiri dalam hatinya terselip rasa waswas dan penasaran. Seringkali dia mendengar cerita dari teman-temannya di kampus tentang kejadian penampakan makhluk halus. Meski cerita itu tidak bisa dibuktikan kebenarannya dan hanya isu dari mulut ke mulut, namun cukup mempengaruhi pemikirannya. Apalagi di dunia maya tersebar gambar dan video yang memperlihatkan penampakan makhluk halus. Walau hal itu bisa saja merupakan hasil rekayasa teknologi atau cuma tipuan kamera.
Sam mencoba menyingkirkan pikirannya dari hal itu. Dia meneguhkan keyakinannya. Masa orang beragama takut pada hantu.
“Sreek…”
Suara seperti benda tergesek kembali terdengar. Sam tercekat. Dia menghentikan langkahnya. Kepalanya menoleh kebelakang. Tak ada apa-apa.
Sam berlari kembali. Berlari kencang sambil menggenggam sesuatu. Tatapan matanya nyaris tak lepas dari cermin. Ya, Sam membawa cermin. Ia berkaca di mana saja—di genangan air, cermin mini yang sekarang ada dalam genggamannya, etalase toko yang dilewatinya. Ia merasa bagaikan Ratu di cerita Putri Salju yang sering bertanya, “Wahai cermin, siapakah yang paling jelita di seluruh dunia?”
“Aku, tentu saja.”

Rido Arbain - @ridoarbain

Posting Komentar

0 Komentar