[Cerpen] Cerita Klise Tentang Cewek yang Menyukai Warna Merah Jambu

           “Sel, nanti kalau ada teman kakak yang datang, suruh langsung ke atas aja, ya. Bilang kakak ada di kamar.”
          “Ya.”
          Aku melirik jam dinding. Sudah pukul 11 siang. Kualihkan pandanganku lebih pada diriku sendiri, dan aku menyadari satu hal—aku masih mengenakan daster tidur! Tapi bukan masalah krusial, ini kan hari Minggu?
          Lalu, suara dari lantai atas membuatku melonjak, diikuti dengan melayangnya sehelai handuk lembap yang kutangkap secara refleks.
          “Pastikan kamu udah mandi sebelum nanti bukain pintu!”
          Terima kasih atas infonya, Kak Dika. Terima kasih juga untuk bantuan handuk baunya.

***

          Aku mematut diriku di depan cermin, sesekali memutar badan, dan lebih dari sekali mengibaskan rambutku yang menjuntai sebahu. Sisir kuletakkan kembali ke laci meja, lalu kuraih lipgloss dan mengoleskannya tipis-tipis ke permukaan bibir. Yang penting dari semuanya, daster tidur sudah berhasil kusulap menjadi kaus lengan pendek berwarna merah muda. Serba pink!
          Kalau dilihat-lihat, aku sudah selangkah mirip Carrie di serial Sex and The City atau Elle dalam Legally Blonde. Keduanya adalah karakter perempuan yang lembut, tapi memiliki visi. Persis sepertiku.
          Di saat aku sibuk dengan khayalanku sendiri, terdengar bunyi bel meraung-raung. Itu pasti teman-temannya Kak Dika!
          Segera kubereskan semua perkakas kosmetik di meja. Setelah memastikan rambut sudah cukup kering berkat bantuan hairdryer milik Mama dan pergelangan tangan sudah dibentengi dengan lotion antikusam, aku berlari-lari kecil keluar kamar. Langkahku menimbulkan suara berdecit-decit, yang berasal dari alas kaki rumahan yang kukenakan. Alas kaki bermotif Hello Kitty yang tentu saja bercorak pink.
          Dari penjuru rumah yang lain, Mama muncul. Masih dengan mengenakan celemek kebanggaannya.  Destinasi yang kami tuju saat ini sama: arah pintu depan.
          “Ma... Mama... biar Seli aja yang bukain pintu!” teriakku setengah histeris.
          Setelah berhasil menghentikan aksi Mama, aku bergegas membuka pintu dengan antusias. Di luar, sudah berdiri tiga orang dengan perawakan yang hampir seragam.
          Leo, Sam, dan Julian.

          Mereka adalah teman sekelas Kak Dika yang juga adalah kakak kelasku di SMA.
          “Hai, Sel. Kak Dika-nya ada?” Suara lembut itu berasal dari mulut Kak Leo. Cowok yang sering dielu-elukan kaum hawa-drama-Korea karena jadi langganan juara di kelas dan angkatannya. Menurut isu yang beredar belakangan ini, Kak Leo baru saja putus dari pacarnya yang kebetulan sekelas denganku, namanya Ratna. Hmm.
          “A-ada. Kata Kak Dika, langsung naik aja ke kamar atas.” Walau menyahut dengan agak grogi, kupastikan senyumku tetap proporsional.
          Pintu kubuka lebih lebar, lalu mempersilakan mereka masuk. Tepat ketika Kak Sam lewat di sampingku, aku nggak sengaja mencium aroma parfumnya. Chanel Bleu! Aku tahu merek parfum itu karena Kak Dika juga memakai parfum yang sama, dulu, sewaktu ia masih sering jalan bareng pacarnya yang sekarang sudah berstatus mantan. Aku suka sekali wangi parfumnya. Berbanding terbalik dari itu, kalau ada cowok terindikasi memakai merek Bvlgari Man Extreme, hmm, maka ia harus siap-siap masuk ke dalam keranjang blacklist. Itu parfum dengan bau paling norak yang pernah aku cium!
          Oh, aku melupakan satu hal. Sepertinya aku perlu membeberkan sebuah fakta penting tentang Kak Sam. Jadi begini, sebenarnya... nama lengkapnya adalah Samsudin. What’s in a name? Nama boleh Samsudin, tapi wajah selevel Adam Levine!
          Rasanya belum lengkap kalau aku belum mengenalkan cowok yang satu lagi—Kak Julian. Dibanding yang lain, Kak Julian bisa dibilang tampangnya paling biasa saja. Tapi ada tapinya, dia jago main gitar! Fakta ini aku ketahui ketika nggak sengaja melihat dia memainkan alat musik tersebut di kamar Kak Dika, yang pintunya dibiarkan terbuka. Dengan suaranya yang khas vibra cowok, bayangkan kalau dia main gitar akustik sambil menyanyikan lagu All of Me dengan artistik, cewek mana yang nggak meleleh?
          Sebelum naik ke kamar Kak Dika di lantai atas, salah satu dari mereka menoleh dan melirik ke arahku. Aku mendadak salah tingkah, lalu menunduk malu, seperti biasanya. Sekarang aku malah pura-pura sibuk menutup pintu—setelah akhirnya kusadari pipiku sedikit memanas lagi.

***

          “Nah, kalau felix domestica ada yang tahu, nama latin dari hewan apa?”
          Aku membolak-balikkan buku cetak biologi untuk menjawab pertanyaan dari Ibu Zahra. Beliau baru saja selesai memaparkan materi tentang tata nama makhluk hidup dengan sistem penamaan binomial nomenclatur. Yang aku tahu oryza sativa itu nama latin dari tumbuhan padi. Hanya itu.
          “Kucing, Bu!” teriak Dinda yang duduk di sebelahku. Aku keduluan oleh teman sebangkuku sendiri.
          “Ya, benar. Kucing.”
          Mendengar nama kucing disebut, aku langsung teringat dengan sebuah artikel di internet yang kubaca beberapa hari yang lalu. Tentang fakta mengejutkan dari karakter kartun kucing imut bernama Hello Kitty. Aku sempat terperanjat membaca beberapa baris kalimat di sana. “Hello Kitty is a little girl. She is a friend. But she is not a cat. She's never depicted on all fours. She walks and sits like a two-legged creature.”
          Hello Kitty bukanlah seekor kucing. Ini sebuah fakta penting! Mungkin cukup penting untuk dibahas di kelas biologi hari ini.
          “Din,” aku mencolek lengan Dinda, “tau nggak?”
          “Tau apaan?” sahutnya setengah berbisik.
          “Hello Kitty itu sebenarnya bukan kucing,” ujarku dengan penuh diplomatis.
          “Terus?”
          “Ya, gitu. Baru tau, kan?”
          “Udah tau dari dulu, kali.”
          Aku langsung merengut. Padahal kupikir tadi itu akan jadi informasi yang spektakuler.
          Berselang lima detik, Dinda balik mencolek tanganku. “Terus, kamu udah tau belum kalau...” Dinda menggantung kalimatnya, “kalau Kak Leo udah balikan lagi sama Ratna?”
          Tunggu dulu... “Apa tadi?”
          “Kak Leo balikan lagi sama Ratna.” Dinda seolah memberikan penekanan pada kata ba-li-kan. Kalau itu berita tertulis, mungkin ia juga akan memakai huruf kapital yang dicetak tebal.
          Aku bingung sendiri mau merespons bagaimana. Ini menjadi fakta yang lebih spektakuler daripada kenyataan bahwa Hello Kitty ternyata memang nggak pernah berjalan dengan empat kaki.

***

          Aku sedang senyum-senyum sendirian di mejaku. Pasalnya, tadi aku sempat berpapasan dengan Kak Sam dan Kak Julian di kantin sekolah. Rombongan mereka minus Kak Leo dan Kak Dika. Aku menebak Kak Leo pasti sedang berada di perpustakaan, mungkin belajar, mungkin juga sambil pacaran dengan Ratna. Alih-alih mau cemburu, aku malah sudah menghapus Kak Leo dari daftar kakak kelas want-to-date. Kalau cintanya sudah mentok ke Ratna, cewek imut macam aku pun nggak bakal ditoleh lagi.
Lalu, Kak Dika di mana? Aku nggak terlalu peduli. Di rumah nanti juga ketemu.
          Di saat sedang asyik dengan pikiranku sendiri, aku nggak sengaja menyentuh sesuatu di laci meja. Setelah diraba lebih lanjut, sesuatu itu cenderung padat dan tipis. Aku menarik benda tersebut dari laci meja, lalu mendapati secarik kertas putih. Tanpa amplop, tanpa pita, dan isinya cuma sebaris kalimat yang ditulis seadanya. Tentu saja ini bukan surat cinta.
          “Kamu suka lagu apa?”
          Sebuah pertanyaan yang cukup eksklusif. Aku menoleh kiri dan kanan untuk mengidentifikasi siapa pengirim surat iseng ini. Ya, mungkin saja salah satu teman sekelasku. Namun, di dalam kelas cuma ada segelintir murid, dan semuanya adalah cewek—yang tentu saja punya alibi kuat dalam kasus ini.
          Oke, sepertinya aku harus mengurangi tontonan film detektif.
          Dengan bermodal jari-jari lentik, kuremas kertas itu hingga membentuk gumpalan agar memungkinkan untuk dilempar ke kotak sampah terdekat.
          Setelah kertas tidak penting itu mendarat dengan sempurna di kotak sampah di sudut ruangan, sejurus aku melihat Kak Sam berjalan lewat di depan kelas. Aku seperti bisa merasakan wangi parfumnya menyerbak perlahan menuju sumber penciumanku. Pintu kelas yang lebarnya sekitar satu meter lebih kebetulan sedang terbuka seluruhnya, seolah memaparkan pemandangan yang lebih luas ketika sosok itu lewat di sana. Aku memerhatikan Kak Sam dengan saksama. Ia sendirian, berjalan dengan pelan. Namun, fenomena setelah ini yang harusnya tak pernah aku lihat... Kak Sam mengangkat tangannya yang sebelah kanan. Lalu, seolah tanpa dosa, ia mengarahkan jari telunjuknya ke lubang hidung. Entah apa yang ia peroleh dari aktivitas mengupil tersebut, tapi yang kulihat kemudian ia mengarsipkan upilnya ke saku celana abu-abu yang ia pakai.
          Mengupil dengan jari telunjuk sebelah kanan.
          Mengarsipkan upil ke saku celana.
          Dua fakta sederhana yang sukses membuat wangi Chanel Bleu yang sempat tercium tadi langsung buyar seketika.

***
         
          Entah kenapa jalan raya sore ini macet panjang, padahal belum jamnya orang-orang pulang kantor. Harusnya tadi aku ikut pulang bareng Kak Dika, tapi aku malah gengsi dan beralasan mau mampir ke perpustakaan daerah dulu bareng Dinda. Ya, habisnya aku bosan mendengar bisik-bisik teman sekelas yang sering bilang begini, “Kok pulang bareng kakaknya terus? Nggak ada teman cowok yang mau antar balik, ya?” Mereka kira aku nggak laku? Sebenarnya aku punya alasan penyangkalan, misalnya karena aku mau kasih kesempatan Kak Dika buat kasih tebengan ke teman ceweknya. Ini sungguhan. Kalau ada liputan tujuh adik paling berbakti versi On The Spot, pasti aku masuk salah satunya.
          Aku baru tiba di rumah menjelang habisnya waktu sore. Dengan kaki terseok-seok, kubuka pagar depan rumah. Terjebak macet di dalam angkot yang sempit ternyata mampu menimbulkan efek cukup dahsyat. Selain kaki pegal akibat berjam-jam menahan kaki ditekuk karena susah selonjoran, dampak negatif yang paling kasat mata adalah rambut awut-awutan, keringat menganak sungai, dan bibir kering kehilangan pesonanya. Lalu, tiba-tiba saja aku rindu pada kamar mandi.
          Hanya di kamar mandi, tempat aku bisa melakukan aktivitas multitasking semacam ber-shower sembari bernyanyi. Hal-hal produktif seperti itu. Seperti sekarang.
          Kamu suka lagu apa?
          Pertanyaan di secarik kertas tadi kembali melintas di benak. Di saat yang sama, aku membayangkan seseorang sedang memetik gitar akustik sambil meyanyikan lagu kesukaanku. Benar saja, aku tiba-tiba membayangkan sosok Kak Julian—kakak kelasku yang gitar dan suaranya kukagumi diam-diam, teman Kak Dika yang setiap ke rumah selalu melemparkan senyum terbaiknya di depan pintu yang membuat wajahku memanas seperti biasanya.
          Aku akan memberi tahu lagu kesukaanku padanya.
          

Posting Komentar

4 Komentar

  1. Setelah kertas tidak penting itu mendarat dengan sempurna di kotak sampah di sudut ruangan, sejurus aku melihat Kak Sam berjalan lewat di depan kelas

    BalasHapus
  2. telah kertas tidak penting itu mendarat dengan sempurna di kotak sampah di sudut ruangan, sejurus aku melihat Kak Sam berjalan lewat di depan kelas

    BalasHapus

Silakan berkomentar. Lihat apa yang akan terjadi!