Sebelum kaubaca lebih lanjut
paragraf setelah ini, aku mohon untuk lunakkan sedikit hatimu. Jauh
sebelum surat ini kubuat, aku sudah lebih dulu mengaku salah. Aku kalah.
Mungkin bagimu terlambat, tak apa. Mungkin hatikulah yang sudah terlanjur tertambat.
Aku merindukanmu, Nay! Aku
ingin kau menatapku dengan telaga sarat kasih sayang, ingin melepas air mata di
pipimu, ingin kularikan rohku yang senantiasa membayangi hari-hariku yang
panjang, ingin meneriakkan beban-beban yang berhimpitan memenuhi ronggaku yang
pengap dan sempit. Kita sudah terlalu lama saling asing. Aku letih, Nay. Sampai
di batas pengharapan.
Nay, berapa lama lagi kita
berjalan sendiri-sendiri? Padahal hati kita begitu akrab saling menyapa,
menumpahkan kekangenan di malam-malam sunyi, seperti ini. Haruskah aku
diam-diam menatapmu, di sini, sendiri, melukis wajahmu di dinding kamar dan
mengguratkan senyummu yang tidak pernah kausediakan lagi untukku? Tanpa berani
berhadapan denganmu seperti halnya sepasang kekasih seperti dulu? Mengapa hatimu
masih saja kesat berdebu? Mari, Nay! Mari, kita lenyapkan permusuhan, mari kita
berhenti untuk saling menyakiti tanpa memberi arti yang cukup berarti. Lupakan
saja semua yang lalu. Karena kini aku sadar, Nay, aku tidak bisa melarikan diri
dari tangan-tangan takdir. Aku jatuh cinta pada takdirku. Takdirku adalah
dirimu, Nay.
Pada siapa lagi hendak
kuceritakan hari-hariku? Pada siapa lagi kutitipkan keresahanku? Pada siapa
lagi aku akan bermanja? Pada siapa lagi aku memeluk penghiburan dari pohon-pohonku
yang kering dan rimbaku yang dahaga? Haruskah pada dinding kamar ini? Atau
tiktoknya jam?
Aku begitu rapuh, Nay. Semuanya
harus kutelan sendiri. Tiba-tiba saja aku tak dapat memungkiri jiwaku bahwa aku
memerlukan kasihmu. Tiba-tiba saja, Nay. Adakah kau mau mengerti limit
perasaanku sampai pada yang terkecil sebutir pasir?
Hampir genap satu tahun dari
terakhir kita saling sapa, genap pulalah aku meraba permukaan hati yang timbul
tenggelam. Aku tak ingin menghukum siapa-siapa. Namun kau harus tahu,
penderitaan ini menghantarkanku ke titik jenuh. Padahal aku berhak menuntut
bagian kasih sayang itu. Aku muak, muak pada diriku yang menyusun ketegaran di
balik air mata.
Lelaki penuh penyesalan itu,
aku. Lelaki yang dihujani kerinduan ini, aku.
Maukah kau menyambut uluran
tanganku lagi, Nay?
__________
Tulisan ini diikutsertakan untuk lomba #suratuntukruth novel Bernard Batubara
0 Komentar
Silakan berkomentar. Lihat apa yang akan terjadi!