[Flashfiction] Kucing Hitam


Kembali. Suara bel menggema di rumah kontrakanku. Hah, sial! pikirku, marah. Bangkit dari tidur siangku yang nyaman. Setengah jam yang lalu, ada seorang sales yang menawarkan kebutuhan rumah tangga dan segera kutolak. Sejam sebelumnya, ada yang datang meminta sumbangan. Baiklah, pikirku. Kali ini ada siapa lagi? Aku benar-benar berharap tamu yang datang kali ini benar-benar tamu penting yang datang mencariku. Jika tidak, hah, akan kumarah-marahi sajalah orang yang datang ini. Biar saja. Apa mereka tidak paham arti hari Minggu sebagai hari bersantai?!
Aku menggerutu sambil membuka pintu. Dan terkejut mendapati tamu yang kini berdiri tepat di depanku.
Orang ini lagi. Aku mendesah panjang. Seorang ibu paruh baya dengan keranjang kecil di tangannya, berdiri di depan pintu. Di dalam keranjang kecil itu masih ada hewan yang sama seperti yang kulihat beberapa hari yang lalu. Kucing hitam dengan bulunya yang sangat lusuh.
“Maaf, Ibu… Sudah kubilang di sini bukan tempat penitipan hewan. Apalagi kucing dekil seperti ini? Aku alergi dengan kucing.”

“Tapi, Pak… Kasihan kucing ini…” Ibu itu kemudian mendekatkan keranjangnya padaku, membuatku mundur selangkah. Aku bohong padanya soal alergi dengan kucing, tapi aku memang bukan pecinta makhluk berbulu yang satu ini. Apalagi kucing yang ada di hadapanku ini. Bukan masalah dekil atau tidak, tapi warna hitamnya yang pekat namun kontras dengan mata kuning cerahnya, sedikit membuatku bergidik. Bukankah kucing hitam pertanda kesialan? Aku meringis saat kucing itu malah menatapku dengan mata membesar, seakan meminta dikasihani. 
“Bagaimana, Pak? Bapak mau mengambilnya?”
Aku menatap ibu itu dengan ragu. Mataku bergantian mengerling ia dan keranjang kucing dekilnya. 
          Aku menggeleng. Kalau bukan perempuan, mungkin sudah kuusir ibu itu pergi dari teras kontrakanku.
“Terimalah, Pak. Kasihan kucing ini.”
Ibu itu kembali menyodorkan keranjangnya ke hadapanku. Tanganku refleks mendorongnya, cukup keras, hingga membuat keranjang itu terlepas dari tangannya dan terjatuh di atas teras. Seekor kucing hitam dengan jumlah kaki yang sudah tak utuh, turut terlempar ke lantai. Aku tesentak melihat kakinya yang tinggal berjumlah tiga. Kucing itu mengerjapkan mata terangnya tanpa suara mengeong. Selain lumpuh, mungkin kucing ini bisu, pikirku.
          Kucing itu mungkin mengerti bahwa aku kasihan padanya, dan kini ia mendekatiku dengan berani. Ia terpincang-pincang, melangkah dengan tiga kakinya. Sementara aku membeku, tak mampu bergerak sesenti pun saat akhirnya si kucing hitam menggosokkan badannya dengan lembut ke betisku. Rasa iba menyergapku sedemikian rupa, membuatku lupa tentang berbagai mitos pembawa sialnya dan keenggananku sebelumnya. 
          “Baiklah. Kucing ini aku ambil,” kataku sambil mengangkat badan ringkihnya. 
Saat aku menoleh, ibu paruh baya itu sudah lenyap dari ambang pintu. Aku bertanya-tanya dalam hati, ke mana ibu itu pergi?
Pertanyaanku tak lama terjawab setelah aku dikejutkan oleh suara dentuman keras yang berasal dari tengah jalan raya. Sebuah mobil truk setop mendadak. Tak jauh dari sisi jalanan aspal, seorang perempuan tergeletak bersimbah darah. Cukup jelas terlihat di antara kerumunan warga yang mulai ramai.
Ibu itu? Aku masih setengah tak percaya. Kupalingkan pandanganku ke arah kucing yang masih asyik menggesek-gesekkan bulu dekilnya di betisku. Aku merasa geram, lalu kutendang tubuhnya dengan cukup keras.
“Dasar kucing pembawa sial!”



------------
tulisan kolaborasi dengan Jusmalia Oktaviani

Posting Komentar

0 Komentar