“Terkadang
masih kurasakan hadirnya di sisiku. Setiap lembar kesenangan yang kami lewati terasa
mencekik perasaanku.”
Klik!
Your tweet has been
updated.
***
Sudah
satu jam lebih aku duduk di sekitar taman Kambang Iwak. Jika saat ini di sekitarku
ada cermin, mungkin aku bisa melihat dengan jelas kalau wajahku sudah begitu
kusut, mataku pun sayu. Sesekali aku menggelengkan kepala, menggigit bibir
bawah kuat-kuat. Aku berusaha mengusir bayangan peristiwa yang tiba-tiba saja
menghantui diriku, menghancurkan kisah cintaku, memporakporandakan jalinan
kasih antara aku dan Risma—kekasihku. Hatiku yang selama ini nyaris tanpa luka,
kini sudah tergores sangat dalam. Benar-benar berdarah.
Kembali
teringat raut wajah Risma, saat kami mulai memutuskan untuk menjadi pasangan
kekasih hingga kulihat wajahnya terakhir kali kemarin.
Awal
bulan Januari, dua tahun yang lalu, kami resmi mengikat hubungan. Status yang
awalnya cuma berteman, lama-lama menimbulkan keakraban dan membuat kami saling
terjebak perasaan. Sebut saja kami korban cinta lokasi.
Kerikil
kecil berupa pertengkaran selalu saja kami alami selama berpacaran, namun
hebatnya itu semua dengan mudah dilalui hanya dengan memaklumi dan saling
memaafkan. Ya, sesederhana itu. Namun, tidak untuk pertengkaran yang terjadi kemarin
siang.
Seperti
hari biasanya, setiap weekend selalu
kuluangkan waktuku untuk pergi bersama Risma. Entah itu pergi ke mal atau
sekadar menghabiskan sore di tepi sungai Musi, menikmati senja saat menutup
pertunjukannya. Namun, hari ini aku mendapati pesan dari Risma bahwa ia tidak
bisa diajak jalan karena ada urusan keluarga. Saat iseng kutanyai ada urusan
apa, berkunjung ke rumah sepupu alasannya.
Selama
ini aku tidak pernah sedikit pun menaruh curiga padanya, hingga siang itu ia memberiku
sebuah kejutan yang menyesakkan. Aku keluar rumah sendirian. Karena sedang
tidak dengan Risma, jadi kuputuskan untuk pergi ke toko buku saja. Dan, apa
yang kulihat ketika aku sampai di toko buku dan menuju salah satu rak di sudut
ruangannya? Aku menemui Risma sedang berdiri di sana. Tangan kanannya tampak memegang
sebuah buku dan tangan kirinya sedang berada dalam gandengan tangan seseorang.
Tangan seorang lelaki yang wajahnya sangat familiar olehku, Hadi, teman kuliah
kami—aku dan Risma—dulu.
Pertengkaran
pun tak terelakkan. Saat itu juga aku menuntut penjelasan mereka. Tapi, bukannya
mendapati permohonan maaf dari mereka berdua, Risma malah memojokkan posisiku
sebagai kekasih terangnya. Di depan Hadi, Risma meneriakiku sebagai seorang
pengangguran tanpa penghasilan. Kalau saja saat itu aku tak dapat mengontrol
emosi, mungkin telapak tanganku sudah mendarat indah di pipi Risma atau bogem
mentah pada hidung Hadi.
Sudah
lewat satu hari, dan sore ini kesakitan serta pengkhianatan itu mencapai
puncaknya. Arrrgh, aku ini laki-laki, kenapa bisa cengeng begini? Aku
menggelengkan kepala, menahan sekuat tenaga agar air mataku tidak tumpah.
Sekuat aku menahan perasaan, tiba-tiba saja cairan hangat bergulir di pipiku.
Ajaib, aku bisa menangis. Sudah lama aku tidak bisa melakukannya. Kubiarkan air
mataku bergulir perlahan. Persetan! Aku biarkan tetes itu memancair jernih dari
telaga duka. Biarkan sampai habis tak bersisa.
Aku
sudah tidak peduli lagi pada orang-orang yang berlalu dan menatap penuh curiga.
Tak bisa dibendung lagi, emosiku sudah terlanjur mendidih.
Di
saat luapan itu sudah mulai reda, aku baru sadar bahwa saat ini aku sedang
dalam rangka menunggu seseorang, yang sudah hampir satu jam terlambat dari
waktu yang kami jadwalkan.
Bola
mataku menangkap sosok yang beberapa waktu lalu aku kenali lewat dunia maya.
Ya, foto yang dijadikannya avatar di
Twitter masih cukup jelas di ingatanku. Tampak perempuan itu sedang berjalan
mendekat ke arahku.
Tuhan,
ada apa dengan jantungku? Kenapa tiba-tiba saja detaknya seperti tak bisa aku
kendalikan? Aku bukan pertama kali jatuh cinta. Tapi untuk kali ini, benar-benar
sebuah rasa yang tak biasa. Aku membatin sesaat ketika perempuan itu telah
berada di hadapanku.
“Hei,
Aku Ayu. Kamu, Rio Admaja, kan?” tanyanya seraya mengulurkan telapak tangan ke arahku.
Aku
tak bisa berkata-kata. Sosoknyanya jauh dari yang aku bayangkan. Binar matanya
lebih teduh, senyumnya manis, tulang pipinya membentuk wajah perempuan sempurna
dalam pandanganku. Apalagi bentuk fisiknya, terlampau sulit aku deskripsikan.
Aku
mulai berspekulasi tentang penilaian perempuan itu padaku. Apa ia kecewa saat
ini? Apa bukan sosok seperti aku yang ia harap temui? Tapi aku segera menepis
semua itu. Apa-apaan ini, tujuan kami bertemu kan memang bukan untuk tujuan
lain, hanya sekadar tweet-up. Tapi,
ya, tak bisa dipungkiri kalau ternyata fisik perempuan di hadapanku ini
menawarkan pesona yang tak mampu disangkal.
“Apa
aku lebih cantik, tidak seperti yang kamu duga?” tambah perempuan itu ketika
pertanyaannya belum sempat aku jawab.
Aku
semakin salah tingkah, terlebih saat perempuan itu membuka suaranya untuk yang
kedua kalinya.
“Lumayan,
lah, minimal tidak terlalu buruk untuk ukuran standarku,” jawabku sedikit
angkuh menyembunyikan rasa gugup yang hampir tak bisa dinetralisir.
***
Kini,
kami sedang berjalan bersisiran menyusuri tepian Kambang Iwak.
“Kita
mau ke mana?” tanyaku.
“Tidak
usah ke mana-mana. Kita jalan santai saja, menghabiskan sore ini hingga luka
hatimu hilang,” balasnya dengan senyum tersimpul.
“Kamu
bisa membaca pikiranku? Kamu tahu luka hatiku dari mana?”
“Sorot
matamu. Dan, tweet-mu barusan.”
Ah,
iya! Aku baru sadar kalau setiap apa yang sedang aku rasakan pasti hampir
selalu aku curahkan di situs micro-blogging
itu—Twitter. Terang saja Ayu tahu. Karena, memang lewat akun jejaring sosial
itulah kenapa aku bisa bertatap muka dengannya sekarang.
“Aku
tidak menyangka pacarku berbuat demikian. Dia tidak menerima apa adanya aku,”
laporku pada Ayu yang menyimpan tanda tanya tentang masalahku.
“Padahal,
seharusnya dia mencintaimu dalam segala hal yang tidak bisa dibeli di toko.”
“Bagaimana
jika tidak?”
“Jangan
ubah dirimu, ubahlah perempuanmu.”
Aku
mencoba mencerna perkataan Ayu. Aku menangkap ada kebenaran di dalamnya. Tapi,
tak bisa segampang itu melupakan orang terkasih yang sudah lama menjalin
hubungan dengan kita, kan?
“Orang bijak pernah
bilang, ‘Lebih baik sendirian untuk selama sisa hidupmu, daripada bersama-sama
dengan orang jahat untuk semenit,’ ” lanjutnya.
“Yu,
pernah tidak kamu mengenal luka?” tanyaku lagi, tanpa menanggapi perkataan Ayu
sebelumnya.
Ayu
terdiam sejenak. Tak sampai sepuluh detik, ia menyahut.
“Aku
mengenalnya sejak kecil, bahkan nyaris akrab. Aku lahir tanpa bapak. Ibuku
hamil karena berhubungan dengan atasannya. Ibu melakukannya karena cinta,
sedangkan laki-laki yang seharusnya menjadi bapakku itu memanfaatkan kesempatan
yang ia punya. Dia meninggalkan ibu begitu saja.”
Aku
memasang indra pendengaran lekat-lekat, mencoba tak melewatkan sepatah kata pun
cerita Ayu.
“Kamu
tahu, Rio.., bagi seorang anak, uang itu nomor dua. Yang utama, kasih sayang
dan rasa aman dari orangtua. Dan, cuma dari ibu aku mendapatkannya. Beliau yang
mengajariku tentang cinta dan maaf; dua hal yang diberikan Tuhan untuk
menjernihkan hati kita. Dengan memaafkan bapak, ibu menjadi sosok yang tegar.
Dan dengan cintanya, ibu memberikan kekuatan dan rasa aman untuk menjalani
hidup.”
“Kamu
kenal bapakmu?”
“Tidak.”
“Kamu
membencinya?”
“Ya,
bahkan sangat dendam. Tapi, itu dulu. Pada akhirnya aku sadar, memelihara benci
dan dendam hanya membuat hati kita tidak pernah sembuh dari luka.”
“Lalu,
apa yang mesti kita lakukan?”
“Memaafkan
orang yang membuat kita luka.”
Aku
terhanyut, termenung. Kisah Ayu jauh lebih parah daripada kejadian yang aku
pikir sudah mengacaukan hidupku. Aku sangat marah pada Risma, pacar yang selama
ini sangat aku sayangi, ternyata diam-diam menjalin hubungan dengan Hadi, temanku
sendiri.
Aku
sadar bahwa kasus yang aku alami tidak ada apa-apanya dibanding kisah hidup Ayu.
Karena, aku masih punya keluarga yang utuh. Aku jadi merasa hidupku terlalu
berharga untuk menangisi perempuan seperti Risma.
Hatiku kini lega. Benar kata Ayu, menyimpan
benci hanya membuat hati kita sakit. Sepertinya tak perlu waktu lama, aku sudah
memutuskan untuk belajar memaafkan Risma dan Hadi.
Aku
merogoh saku celana jeans-ku, bermaksud mengambil ponsel. Aku mencoba untuk
mengirimkan draft pesan yang tadi malam tak jadi aku kirim pada Risma.
To : My Dearest OneBiarkan kuputuskan melangkah sendiri.Sebelum hati benar-benar dusta.Esok, kau siapa? Aku siapa? Adalah jawabannya kini berbeda.Hari-hari selanjutnya tak perlu lagi memungut berita.Tentangku jika kau merindu. Tentangmu jika aku merindu.Aku tak berlari, biar kau tak mengejar.Penyudahan ini untukmu, untuk lukaku.Dan, mimpi yang menguap di pagi yang terlalu muda.Rio - Mantan pacarmu
“Ada
apa?” tanya Ayu ketika melihatku sedang sibuk dengan ponsel.
“Oh,
tidak apa-apa. Terima kasih ya, Yu.”
“Untuk?”
“Untuk
semua perkataan yang secara tak langsung sudah mengobati lukaku. Mulai
sekarang, aku harap kita bukan hanya jadi teman di dunia maya, tapi juga di
kehidupan nyata.”
Ayu
melempar senyum padaku, pipiku sedikit memerah. []
1 Komentar
waahh untung itu rio admaja,bukan rio aperta... hampir mirip dah namanya...
BalasHapusrioaperta.com
Silakan berkomentar. Lihat apa yang akan terjadi!