Aku
sudah cukup umur, sudah mulai mengerti dan akan belajar arti dari kehilangan.
Umurku yang sudah tak lagi belasan, memang sangat disayangkan jika belum sempat
memberikan secuil kebahagiaan untuknya…
Ibuku..
Wanita hebat di balik sempurnanya Ayah dan keluargaku, seorang Ibu rumah
tangga, seorang “pahlawan” dalam pandanganku. Baik, ramah, “ringan tangan”,
“berdarah dingin”, itu komentar yang seringkali aku curi dengar ketika aku
mengulurkan telapak tangan untuk sekadar menyambut bela sungkawa para tetangga
di hari di mana Ibu telah berpulang ke sisi-Nya, di umur yang masih terbilang
muda, 59 tahun. Seingatku, rambutnya belum beruban ketika itu.
“Ibu
ingin melihat kamu lulus dan hadir di acara wisudamu nanti, seperti Ibu-Ibu
temanmu yang lain.” Masih selalu kuingat pesannya di secarik kertas lecek yang kutemukan di antara tumpukan
buku di kamarnya. Aku yakin ia bukan hanya sekadar iseng menulis itu, aku juga
percaya bahwa ia menulisnya sehabis tahajjud.
Karena aku mendapati rintik air mata yang mengering di permukaan kertas
itu, walau tak tampak. Tersentuh, sangat tersentuh bahkan, walaupun aku tahu
pesan itu adalah untuk kakakku yang paling tua. Tapi aku tetap merasa bahwa
pesan itu juga untukku, untuk kami, anak-anaknya. Aku janji, waktu itu akan tiba, Bu. Aku percaya, Ibu akan
melemparkan senyum bangga dari surga atas pencapaianku nanti. Insya ALLAH.
Semua
memang sudah terlambat.
Meski
selalu ada suara yang mengalun ke jantungku bahwa aku masih hidup, punya waktu
untuk berbuat banyak, yang bisa membuat Ibu bangga, yang bisa berguna baginya
di sisi Tuhan, kendati sungguh tak akan bisa aku hapus semua ingatan
tentangnya.
Hari
ini, genap satu tahun sudah aku tak mendengar suara Ibu, aku tak merasakan
usapan tangannya ketika tidurku terlalu pulas, aku tak menemuinya di meja makan
setelah ia habiskan waktunya di dapur hanya untuk menyiapkan makan malam untuk
keluarga sederhananya, yang ia cintai. Aku rindu, aku merindukanmu lewat doa,
Bu.
Aku
tanpamu seperti kehilangan pegangan. Aku rapuh, bahkan mungkin lebih rapuh dari
mereka yang hidup sebatang kara sejak lahir ke dunia. Tanpamu aku dahaga, haus
akan telaga kasih sayang. Jika saja rindu ini dapat ditimbang, maka aku yakin
beratnya tak akan terhingga. Tak berbatas.
Aku
belajar banyak dari Ibu, bahkan ketika ia telah tiada. Belajar untuk sabar,
kuat, bersyukur, pun belajar untuk lebih akrab dengan-Nya, Sang penggenggam
kehidupan.
Selalu
ada penyesalan di setiap kenangan, bukan? Pasti ada. Tapi aku selalu tahu
betapa Ibu tak pernah berkata “tidak”, “buruk”, buatku, meski sungguh tak semua
yang aku lakukan benar-benar punya arti dan terkadang melukai rasanya sebagai
makhluk yang telah melahirkan dan telah membesarkanku.
Maka, dengan ini izinkan aku untuk selalu merinduimu.
Bu.. Terima kasih sudah melahirkan anak laki-laki yang luar biasa ke dunia
ini, 20 tahun yang lalu. Anak yang kau ajari caranya mencintai,
caranya menghargai dan mensyukuri hidup. Terima kasih telah
memberikan dia banyak tawa dan cinta yang luar biasa.
3 Komentar
:')
BalasHapus*speechless* :'(
BalasHapushuhuhu......inget mama ku :(
BalasHapusinget kirim doa ya buat ibunya :)
Silakan berkomentar. Lihat apa yang akan terjadi!