Kado dari Mr. Perfect

Rabiyandi Pratama”, dia memang kakakku yang “katanya” mirip Michael Buble, yang “katanya” senyumnya nggak kalah dibandingin Afgansyah Reza, yang “katanya” otaknya hasil klonning milik Einstein, yang “katanya” juga memiliki pribadi dengan patriotisme yang tinggi kayak Bung Karno. Halah!

Punya kakak keren kayak gitu, ternyata tidak seasyik yang orang-orang bayangkan. Huft! Yaah.. Jujur dari lubuk hati yang paling busuk , Iyan terlalu perfect kalo harus dibandingkan sama aku yang just so so ini …

Iyan yang aneh, kini semakin aneh. Keanehan ini dimulai Minggu pagi hari ini. Sebenarnya sih sejak tadi malam aku sudah mendengar musik-musik yang tidak biasa dari dalam kamarnya. Membuatku merasa berada di gurun pasir.

“Assalamu'alaikum semua!”


Keanehan 1
What?? Iyan ngucapin salam?! Ini baru kali pertamanya terjadi. Biasanya dia langsung aja tuh nyamber sarapan pagi, ngucapin selamat pagi aja enggak!
“Tumben udah bangun jam segini?” sindir Mama. Iyan tersenyum jenaka, merentetkan gigi-gigi putihnya.
“Iya ma, tadi abis shalat subuh, Iyan nggak tidur lagi,” jawabnya polos.

Keanehan ke-2 
Sejak kapan Iyan shalat subuh? Bukannya selama ini dia penganut PSDS, alias Persatuan Shalat Dua Kali Setahun. Yaiyalah, Iyan kan cuma shalat di Idul Fitri dan Idul Adha saja, itupun dengan berjuta bahkan beratus alasan.

“Trus, pagi-pagi udah rapi begini emangnya mau kemana?” Tanya papa.
Iyan menjawab datar, “Mau Ngapel bareng teman-teman pa … Maksud Iyan Ngaji Pelan-pelan, beramal lah pa!”
Uhuk…Uhukk…
Kontan aku terbatuk-batuk, roti yang aku makan seakan tersumbat ditenggorokan, buru-buru ku teguk susu di atas meja. Wah, ada apa dengan pagi ini? Iyan benar-benar berubah, aku jadi takut kalau ia ikut-ikutan aliran sesat kayak yang lagi marak di TV-TV itu.

“Heh, Bensin ! Makanya kalo makan tuh baca Bismillah!” cerocos Iyan. Ucapan yang nyebelin, tapi syukurlah Iyan masih manggil aku Bensin seperti biasanya, itu artinya Iyan belum GILA!! 
“Apaan sih! Nama aku itu ALDE …, bukan Bensin!” dampratku memulai ribut seperti pagi-pagi biasanya.
“Alaaah… Alde sama Bensin kan sama aja, sama-sama minyak !” Iyan tak mau kalah.
“Ma… Pa…, lihat tuh si Iyan. Masa dia ngatain aku bensin. Padahalkan mama-papa waktu ngasih nama aku kan motong kambing ya, masa diganti gitu aja!” aduh ku. Aku memang kadang ”memanjakan” diri ke Mama-Papa kalo lagi kehabisan jurus melawan serangan Iyan.
“Udah-udah! Berantem terus, kayak anak kecil aja!” lerai mama akhirnya. “Katanya kamu mau ngaji, yaudah gih sana!”
“Ok. Deh! Semuanya, aku berangkat dulu ya, Assalamu'alaikum!” ujarnya. Semua menjawab salam Iyan. “Dah Bensin!” tambah Iyan sembari beranjak, langsung saja ku lempar ia dengan sendok. Tapi Iyan selalu saja berhasil mengelak dan berlalu.
“Ma, Pa, Iyan kok aneh ya?!” ujarku
“Aneh gimana?”
“Ya… aneh! Aneh lah pokoknya!”
“Gara-gara dia mau pergi ke pengajian?”
“Itu salah satunya! Liat aja ya ma, pa! Masa’ semaleman tuh Iyan muter-muter kaset nasyid, malah bahasanya Alde nggak ngerti lagi. Trus, tadi apa coba?! Assalamu'alaikum? Ngucapin selamat pagi aja jarang. Anehkan !!??”

“Alde…Alde… yang aneh tuh kamu. Orang berbuat baik kok dikatai aneh, dasar aneh!”
“Atau jangan-jangan … Beneran lagi kak Iyan ikut jaringan teroris. Antek-antek nya Noordin Tank Top!”
“Hush! Apaan sih kamu. Kakak kamu itu orang yang intelek, nggak akan mungkin jadi teroris. Hati-hati loh kalo ngomong, udah ah mama sama papa berangkat dulu!” mama pun beranjak.
“Oh, iya! Satu lagi… Yang tadi itu bukannya Noordin Tank Top, tapi Noordin M Top! Makanya jangan sok tau, rajin nonton berita, kaya kakak kamu tuh!”
“Loh, mama sama papa, kok kerja? Kan hari Minggu!”
“Papa ada meeting sama client !”
Huft! Lagi-lagi aku ditinggal sama Bik Minah dan Mang Karyo, udah kayak anak pembantu aja jadinya aku. Untungnya nggak ada Iyan! Tapi aku jadi makin kesel sama tuh orang, makin besar kepala aja dia dibelain sama mama-papa!

Aku membantingkan diri ke sofa dan segera menyalakan AC ruangan. Letih nih, abis pulang kuliah, pengennya minum yang seger-seger. Tiba-tiba pandanganku terhenti tepat pada meja kaca berbentuk oval di depanku.
Ada vas bunga yang terduduk manis di atas nya, tapi bukan itu yang sedang jadi pusat perhatianku.
Ada juga satu toples keripik yang biasanya digunakan untuk menyumpel mulut Iyan (hmm… maklum,, tuh anak kan doyan banget ngemil), aku juga sedang tidak tertarik memperhatikan itu.
Tepat di sebelahnya ada sebuah buku dengan tulisan The Da Vinci Code di covernya, bukan itu juga alasannya.
Aku segera meraih seutas kain yang masih terbungkus di dalam plastik tepat di atas meja.

“Loh, ini kan sejadah …,” ujarku, kemudian ku baca tulisan di kartunya, “Dari Iyan!”
Hah? Kok Iyan ngasih papa sejadah gini sih? Papa kan jarang shalat. Atau jangan - jangan … Hah ?? “Tapi kan ulang tahun aku masih bulan depan!”
Hmm… tumben-tumbenan dia ngasih hadiah sama aku, pasti ada maunya!! Tapi kok sejadah sih??
Astaghfirullahaladzim.. Aku baru ingat semalam Iyan sempat ngomong, ”Besok kamu shalat ya!” ketika aku memprotes lagu yang sedang ia putar.

Ya Tuhan.. Rupanya ini maksud dari omongannya itu.
Ternyata Aku salah kalau terkadang aku iri padanya, iri ketika Papa-Mama membanding-bandingkan Aku dengan Iyan.
Tapi ternyata Aku masih begitu beruntung punya saudara seperti Iyan disaat Mama-Papa hampir tidak punya waktu luang untuk sekedar menyuruhku mengaji.
Dan nyatanya mulai sekarang Aku harus sanggup menahan semua keirianku dengan rasa bersyukur. Ya, bersyukur atas dihadirkan oleh-Nya Iyan untukku.


Dimodifikasi dari
Sebuah cerpen yang ditulis temanku, Nikky

Posting Komentar

0 Komentar